This is Not My Hat!


****

Day 1


"Rachel!! Adonan roti coklatnya akan selesai dalam waktu lima menit lagi!!" teriak adikku yang bernama Chintya. Chintya Cross lebih tepatnya. Begitu pula aku, namaku Rachel. Rachel Cross. Umur Chintya hanya satu tahun dibawah dariku. Umurnya sembilan belas.

Dan mengapa Chintya meneriakkan tentang roti? Karena kami bekerja sebagai pembuat dan penjual roti. Toko roti tempat kami bekerja ini adalah toko roti milik Ayahku yang sudah meninggal 3 tahun lalu. Jadilah kami sebagai anak yang melanjutkan bisnisnya. Chintya bekerja sebagai pembuat adonan dan membeli berbagai bahan, sedangkan aku yang memasak dan menjualnya. Aku menjual roti sudah ke berbagai macam distributor. Oh tak lupa. Di toko ini, kami bukan hanya membuat dan menjual roti saja. Es krim, kopi, teh, jus dan berbagai minuman soda, kami juga menjualnya.

"Baiklah!" jawabku sambil membungkus berhelai-helai roti gandum ke dalam plastik. Setelah ini aku akan pergi ke dua distributor. "Jangan lupa dengan roti tawarnya!"

Tringgg. Tiba-tiba lonceng yang menandakan bahwa ada seseorang yang masuk ke toko roti kami, berbunyi. Chintya yang tangannya mengaduk adonan, melirikku. "Sepertinya ada seseorang yang masuk,"

Akupun langsung melepas pekerjaanku dan berjalan menuju meja bartender untuk melayani siapa yang datang. Ternyata seorang lelaki muda yang seumuran denganku, berambut hitam yang mencuat kesegala arah, bibir yang tipis, alis tebal yang panjang, dan memiliki mata berwarna biru laut yang pekat. Yang menarik perhatianku adalah, laki-laki itu memegang sebuah topi kecil berwarna merah muda dan pita hitam yang melingkar, sebagai penghiasnya. Topi itu sangat mirip dengan topiku. Tapi, tidak mungkin itu adalah milikku. Topiku masih ada didalam tas Chintya.

"Selamat pagi, Tuan." kataku menyerahkan daftar menu padanya. Dikedua tanganku sudah tersedia pulpen dan kertas. "Silahkan sebutkan apa yang ingin anda pesan."

"Hmm, ngg, ak-aku tidak memesan apapun. Aku hanya ingin bertanya. Apa topi ini milikmu?" tanyanya sambil meletakkan topinya di atas meja. "A-aku menemukan topi ini di depan apartementku. Kulihat kemarin ada seorang perempuan yang tak sadar bahwa topinya sedang terjatuh."

"B-bukan. Topi saya masih ada didalam tas. Perempuan itu mungkin bukan saya,"

"Kau yakin?"

Aku mengerutkan kening. "Iya. Aku yakin. Memangnya ada apa?

"Uh. Tidak. Tidak apa-apa," jawab laki-laki itu mengambil kembali topinya. "Baiklah. Maaf menganggu. Aku pergi."

Ia membalikkan badan dan berjalan keluar. Huh. Dasar aneh.

Day 2


Tringgg. Ini baru jam 7 lewat 10. Baru sepuluh menit kami membuka toko ini. Aku baru membongkar bahan-bahan yang dibeli Chintya. Sudah ada saja orang yang datang. "Chintyaa!! Ada seseorang yang datang. Kau saja ya yang melayaninya. Aku benar-benar sibuk!"

Chintya mengangguk lalu berjalan menuju bartender. Tak lama setelah itu, ia kembali lagi. "Hei, kau tahu, dia sangat tampan. Orang itu menginginkan double cheesebread dan secangkir hot chocolate," katanya mengambil sebuah cangkir dan bubuk coklat. "Oh ya, Rachel, katanya dia mau bertemu denganmu. Temuilah dia dan kuyakin kau tak akan kecewa."

"Apa? Siapa dia? Kecewa apa?" tanyaku sambil meletakkan bungkusan tepung-tepung di atas meja. "Oh ya sudah. Baiklah. Kasihan dia. Dan kau harus membuktikan bahwa perkataanmu 'dia sangat tampan' itu benar!"

Chintya memutar matanya.

Aku keluar dari dapur dan berjalan menuju meja bartender. Laki-laki bermata biru itu lagi. Urusan apa dia kesini? Baru dua langkah aku maju, ia sudah sadar akan kehadiranku. "Hei." sapanya.

"Hai. Ada apa? Ingin menambah pesanan?"

"Uhm. Tidak. Aku hanya ingin bertanya tenta--"

"Double cheesebread dan secangkir hot chocolate!" teriak Chintya sambil menyerahkan nampan pada laki-laki itu. Gadis itu tersenyum kecil pada pelanggannya. Lalu, ia berjalan kembali lagi ke dapur. Mungkin karena tidak ada lagi yang diinginkan laki-laki ini, aku juga ingin balik ke dapur.

"Hei, Rachel, tunggu!" Ia menahanku. Aku membalikkan badan.

"Kenapa?" tanyaku. Aku mengernyitkan alis. "Oh dan kau mengetahui namaku? Darimana?"

"Name tagmu." Ia menunjuk kearah nametag-ku yang tertempel disaku baju. Oh astaga, aku baru sadar akan itu. Baiklah.

"Ooh. Oke. Jadi, kenapa kau menahanku? Ada apa?"

"Hmm, ngg, ak-aku," katanya gugup. "Aku hanya ingin bertanya tentang topi yang kemarin. Kau serius, kan, itu bukan milikmu?"

Aku memutar bola mataku. "Bukan. Dan aku serius."

"Uh. Baiklah. Maafkan aku." Ia mengangkat nampannya dan berjalan menuju salah satu meja. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu kembali ke dapur.

Day 3


Chintya sakit. Terpaksa aku menggantikan pekerjaannya sebagai pembeli bahan-bahan. Hanya beberapa bahan yang habis. Aku mengambil jaketku lalu keluar dari toko. Ini masih sangat pagi. Embun menempel di kaca-kaca. Jam 6 lewat 20 menit kurasa. Aku menggosokkan kedua telapak tangan.

"Hei, Rachel!!" suara seseorang dari belakang. Setelah berpaling, aku mendapati laki-laki bermata biru itu lagi. Ia berjalan menghampiriku. "Kau ingin kemana?"

"Hmm, aku ingin ke supermarket dekat taman. Ada apa?"

"Mau ikut bersamaku?"

Aku membelakkan mata mendengarnya. Menatapnya dengan tatapan 'kau serius?'. Aneh sekali orang ini. Bahkan aku belum mengenal namanya.

"Ya. Ya. Aku serius, Rachel!" jawabnya seakan-akan bisa membaca pikiranku. "Mobilku disana,"

"Hm okay, baiklah. Terima kasih." kataku berjalan mengikutinya yang berjalan menuju mobil. Lumayan lah dapat tumpangan gratis.

Setelah tiba di mobilnya yang berwarna hitam, ia membukakan pintu penumpang yang ada didepan untukku. Akupun masuk mengikuti perintahnya. Ia menutup pintu pengemudinya dengan keras, lalu menyalakan mesin. Dan mobil mulai berjalan dengan kecepatan normal. Di tengah-tengah perjalanan, ia berkata, "Jadi, kenapa kau yang ke supermarket? Bukankah itu adalah tugas Chintya?"

"Chintya sakit." kataku memandang ke luar. Orang itu mengangguk. Entah kenapa secara tiba-tiba, aku menyadari suatu hal yang sangat menyanggal dipikiran. "HEI! Darimana kau tahu bahwa membeli bahan-bahan adalah tugas Chintya?! Kau stranger?!"

"Ngg, tidak juga. Maksudku, aku bukan stranger mengerikan yang kau kira," jawabnya. "Aku sangat sering melihat Chintya, namun ia sama sekali tidak pernah melihatku. Beberapa kali aku bertemu dengannya di supermarket berbelanja bahan-bahan roti. Disaat aku bertemu dengannya di toko rotimu, barulah aku sadar, yang berbelanja adalah dirinya."

"Sebesar itukah kau memperhatikan adikku yang bernama Chintya?" tanyaku menggeleng-gelengkan kepala. "Apa kau menyukainya?

"Lebihbesarakumemperhatikanmu,Rachel." Laki-laki itu berkata dengan sangat cepat, yang terdengar jelas hanya lah namaku di ujung kalimatnya.

"Apa? Apa katamu? Aku tidak mendengar!"

"Tidak. Tidak apa-apa. Tidak penting." Ia tersenyum lebar.

Aku memutar bola lagi dan lagi. Menghembuskan napas kesal. "Sebenarnya namamu siapa sih?"

Orang itu melirikku lalu tersenyum miring. "Kau benar-benar ingin tahu siapa aku?"

"Huh. Yeah.. Tentu saja!" kataku sedikit berteriak. "Orang mana yang tidak ingin mengetahui nama 'laki-laki aneh yang tahu semua tentang dirimu dan adikmu'."

"Terima kasih telah ingin mengetahui namaku. Namaku, Nash. Nash Andreas."

Day 4


"Rachel! Rachel!" Chintya menggoyang-goyangkan bahuku. "Ini penting!!"

Aku yang sedikit kesal akibat tingkahnya yang menggangguku saat memperbaiki oven, menggeram. "Huh! Ada apa, sih?" kataku menatapnya sengit.

"Orang itu datang lagi!" Ia menunjukkan ekspresi yang sangat gembira.

Aku memutar mata karena aku tahu siapa 'orang itu'. "Siapa? Si Nash?"

"Nash? Siapa nash?" Chintya bertanya balik. Oh iya. Ia belum mengetahui nama laki-laki bermata biru itu.

"Laki-laki bermata biru itu, kan? Berambut hitam dan bibirnya tipis? Nash Andreas, kan?" tanyaku sibuk kembali dengan oven.

"Iya!! Oh jadi namanya adalah Nash Andreas? Darimana kau tahu bahwa namanya Nash? Kapan kalian berkenalan?" Chintya menanyakan pertanyaan berturut-turut. Aku juga tidak bilang bahwa aku sudah berkenalan dengannya.

"Ya, kemarin pagi waktu kamu sakit, dia mengajak aku berkenalan." aku menjawab sesingkat-singkatnya tanpa harus memberitahu bahwa aku ke supermarket bersama Nash.

"Dia mencarimu, Rachel."

"Ngomong-ngomong kenapa dia mencariku? Dan apakah dia tidak memesan sesuatu?"

"Aku tidak tahu kenapa. Dan dia tidak memesan seseuatu. Hanya ingin bertemu denganmu," Chintya mengerdikkan bahunya. "Oh, Rachel, kau sangat beruntung dicari oleh laki-laki tampan seperti Nash. Aku sangat ingin menjadi dirimu."

"Kenapa?" tanyaku sambil tertawa kecil karena melihat tingkah Chintya. Chintya jika sedang jatuh cinta pasti akan bercerita denganku. "Kau menyukainya?"

"Yeah.. Bisa dibilang begitu," jawabnya tersipu dan pipinya mulai memerah. "Tapi, tak apalah jika Nash menyukaimu. Paling tidak, kan, jika kalian menikah, aku akan tetap sering menemuinya."

Sontak aku langsung mendorong tubuh Chintya. Aku mengerutkan kening padanya. "Apaan menikah? Khalayanmu terlalu tinggi, Chin! Dan tidak baik jika kau jatuh cinta pada iparmu sendiri,"

"Sudah. Sudah. Cepat temuinya sana. Kasihan ia menunggu lama," katanya. Aku berdiri, lalu berjalan ke meja bartender. Tempat dimana Nash sedang menunggu.

"Kuharap kau juga menyukai Nash, Rachel." kata Chintya tiba-tiba dengan suara yang sangat pelan. Namun masih bisa didengar olehku. Aku hanya menggeleng-geleng mendengar suara adikku yang sedang dilanda kecemburuan itu.

Aku menghampiri Nash. Saat kulihat-kulihat, anehnya, ia membawa topi merah muda seperti punyaku itu lagi. "Hei, Nash."

"Oh, hei, Rachel."

"Ada apa, ya?" tanyaku mengangkat sebelah alis.

"Sebenarnya ini tidak penting sih, tapi, ngg, ak-aku hanya ingin bertanya masalah topi ini, lagi." ia menyerahkan topi itu padaku. "Kk-kau benar-benar yakin kan bahwa ini bukan punyamu?"

Aku menghembuskan napas lalu memutar mata. Ia tampan namun aneh dan menyebalkan. "Astaga, Nash! Kan kemarin sudah kukatakan sebanyak dua kali bahwa ini bukan topiku. Topi ini juga pasaran. Jadi.. banyak orang yang memilikinya."

Nash menggaruk tengkuknya. "Uhm, maaf-maaf. Ba-baiklah. Aku pergi dulu. Selamat pagi." dan ia keluar dari toko rotiku. Walaupun aku belum sama sekali memeriksa keadaan topiku sejak Nash datang kesini untuk pertama kalinya, aku tetap yakin topi itu masih ada di dalam tas Chintya. Tidak mungkin terjatuh begitu saja, kan? Entahlah. Aku mengusap dadaku, lalu masuk kembali ke dapur dengan perasaan sedikit kesal. Tidak sedikit kurasa.

Day 5


Hari sudah semakin gelap. Bukan. Bukan karena hendak malam, tapi, gelap yang kumaksud adalah mendung. Sebentar lagi hujan akan turun. Kali ini kami pulang lebih lambat dari biasanya karena seseorang memesan 50 roti secara mendadak. Aku dan Chintya akan pulang setelah mengunci toko roti ini. Huh. Hari yang benar-benar lelah.

Baru saja kami hendak melangkah menuju halte bus, aku mendengar suara seseorang memanggilku dari kejauhan. Walaupun aku tidak melihat siapa yang memanggilku, namun aku sudah bisa menebak siapa dia. Nash lagi. Aku benar-benar lelah namun masih harus berurusan dengan Nash Andreas itu?!

"Hei, Rachel," Chintya menyenggolku. "Nash memanggilmu. Sebenarnya ada urusan apa sih kalian berdua?"

Aku memutar mataku, lalu berpaling kebelakang. "Aku juga tidak tahu, Chin! Nash selalu menyerahkan topi yang sama dengan punyaku, tapi itu bukan punyaku! Punyaku kan masih ada didalam tasmu.. namun, ia masih bersikeras bahwa topi itu milikku!"

Chintya memandangku sebentar lalu mengerdikkan bahunya.

"Hei, Rachel," kata Nash. Pandangannya beralih ke Chintya. "Hei, Chintya."

"Hai." sapa Chintya dengan senyum lebarnya. Senyum terlebar yang pernah ia berikan pada seorang cowok.

"Ak-aku hanya ingin mengembalikan to--"

"NASH! KUMOHON! CUKUP!" bentakku padanya. Beberapa penjalan kaki yang lain memperhatikanku.

"Kau ini amnesia atau gimana sih?! Sudah kukatakan berapa kali padamu bahwa topi ini sama sekali bukan milikku!! Aku tak bisa membuktikan bahwa topi ini bukan milikku, karena topi milikku berada didalam tas Chintya di rumah kami. Nash tolong berhenti menemuiku dan Chintya. Sampai kapan kau terus memaksaku untuk mengambil topi itu? Sampai bumi terbelah dua?! Aku benar-benar kesal kali ini, Nash!"

"Ta-tapi--"

"Sudah, Nash." kataku menarik tangan Chintya. Dan disaat ini juga aku merasa rintik hujan membasahi tubuhku. "Ayo, Chintya. Tinggalkan saja laki-laki menyebalkan, aneh, dan pemaksa ini disini! Aku tak peduli dengan hujan yang mengguyurnya!"

Author POV


Karena merasa rintik yang turun dari langit semakin deras, Nash langsung mengambil kantung plastik besar dari sakunya, untuk melindungi topi merah muda yang sedang ia pegang. Ia membuka kantung plastik itu lalu memasukkan topinya kedalam sana.

Perlahan tubuh dua gadis kakak beradik itu menghilang dari pandangan Nash. Ia hanya bisa tersenyum tipis setelah mendapat perlakuan dari Rachel tadi. Hatinya terasa ditusuk-tusuk. Ia masih berdiri di depan toko roti milik keluarga Rachel dengan senyuman yang semakin lama semakin memudar, seiring dengan intensitas hujan yang kian lama semakin bertambah. Seiring dengan hujan membasahi seluruh tubuhnya. Tak ada lagi bagian yang kering dari tubuh Nash. Ia mulai mengingat tentang masa lalunya yang benar-benar gila.

Nash melebarkan senyumnya, lalu berkata, "Terima kasih, Rachel, karena kemarin kau rela membuang waktumu untuk pergi ke supermarket denganku. Karena menurutku itu adalah hari terindah dalam hidupku, karena aku bisa pergi bersama seseorang yang kucintai secara diam-diam selama 2 tahun."

"Kau tidak tahu, Rachel, kenapa sebenarnya aku selalu mengembalikan topimu. Kau belum sadar apa sebenarnya yang terjadi enam hari yang lalu. Kau terus sibuk dan tidak menyadari hal yang terjadi. Namun sayangnya, kau sangat keras kepala." suara Nash teredam oleh air hujan.

"Dan aku juga minta maaf karena telah membuatmu kesal. Aku hanya ingin bilang, kalau hari ini adalah hari terakhirku berada disini. Di tempat ini. Karena besok aku akan menempati janjimu untuk tidak menemui kalian lagi. Kau pasti senang, kan, karena besok tidak bertemu denganku lagi? Baiklah. Sampai jumpa, Rachel."

Day 6

"Rachel!! Aku mempunyai berita penting!" teriakan Chintya menggema ke seluruh penjuru ruangan.

Aku hanya memutar mata lalu kembali melanjutkan pekerjaanku yang sedang memotong-motong buah untuk dibuat jus. Berteriak kesenangan adalah kebiasaannya jika telah mendapat sesuatu yang bagus. Entah apa yang didapatnya sekarang ini jadi ia berteriak kegirangan seperti itu.

"Rachel?! Kau mendengar aku memanggilmu, kan?" tanyanya lagi.

Aku menghela napas lalu berpaling. "Iya, Chintya. Kau selalu mengatakan bahwa kau mendapat berita penting, namun setelah kau bilang padaku apa berita itu, ternyata tidak terlalu penting. Itu sudah menjadi kebiasaanmu sejak sekolah dasar, Chin. Memangnya ada apa?"

"Oh ayolah dengarkan dulu. Dan lagipula, itu kan sudah lama. Aku yang sekarang belum tentu sama seperti yang dulu, kan?" katanya sambil menghembuskan napas. "Aku mendapat undangan reuni dari teman-temanku high school dulu untuk jalan-jalan ke New York besok lusa."

"Aku mempunyai dress yang warnanya sama dengan topi merah muda bertali hitam punyamu itu. Jadi, sebagai pelengkap agar pakaian yang kupakai terlihat sempurna, aku boleh, kan meminjam topimu?"

"Kau memanggilku hanya untuk meminjam topi? Tidak meminta izin untuk pergi ke New York-nya?" tanyaku. Chintya mengangguk. "Bagaimana jika aku tidak mengizinkan?"

Mata Chintya membelak. Mulutnya ternganga. "Apa?! K-kenapa? Oh, Rachel, ini reuni gratis jalan-jalan keliling New York! Lagipula darisini ke New York cuma empat jam, kan? Ayolah, kumohon, Rachel.."

Aku tertawa. Terbahak. Dan Chintya terkejut.

"Kau mempercayai bahwa aku tidak mengizinkanmu? Oh astaga. Tentu aku tidak akan melarangmu walau hanya reuni, Chintya." kataku mengusap-ngusap kepalanya.

Chintya memutar matanya. "Bagaimana dengan topi? Kau mau meminjamkannya, kan?"

"Tentu," jawabku. "Ada didalam tasmu. Di ruang atas."

"Okay. Thank you so much, Rachel Arieen Cross! I love you.." jawabnya lalu berlari kearah tangga. Dasar kayak anak kecil. Akupun melanjutkan pekerjaanku memotong buah-buah sebagai isi dari roti yang akan kubuat.

Tak lama, Chintya menghampiriku lagi. "Uhm, Rachel, topimu itu tidak ada dalam tasku. Kau bilang dalam tasku, kan?"

Aku mengerutkan kening tanda tak percaya. "Masa? Serius?"

Chintya mengangguk.

"Coba cari dalam lemari atau dalam laci," kataku. "Mungkin bisa saja aku tak merasa meletakkannya disana."

Chintya mengangguk dan berlari lagi ke atas. Tidak ada hal yang terjadi selama ini. Maksudku, apa yang menyebabkan topi itu bisa tidak ada disana?

"Rachel.." Chintya tiba-tiba datang. "Tidak ada juga!"

Aku meletakkan pisau ke atas meja, mencuci tangan, lalu naik ke gudang atas. Aku bongkar semua isi tasku dan benar apa yang dikatakan Chintya. Lemari dan laci pun setelah bermenit-menit membongkar, juga tidak ada. Siapa yang mengambilnya? Kututup mataku, sambil mengingat-ingat hal-hal apa saja yang kukerjakan minggu ini jadi sampai topi itu hilang. Kuputar memoriku agar bisa tahu sebenarnya yang terjadi.

Mata dan mulutku langsung terbuka lebar saat tiba-tiba, aku mengingat suatu hal. Aku terlonjak kaget akibat ingatanku sendiri.

Aku menepuk jidatku dengan keras. "OH ASTAGA YA TUHAN!! Aku lupa, Chintya. Aku benar-benar lupa!! Maafkan aku, Chintya."

"Hah? Kenapa? Kelupaan apa? Apa yang terjadi, Rachel?" Chintya mengerutkan kening padaku.

"Seminggu yang lalu kan, aku membawa topimu ke penjahit. Nah, setelah pulang dari penjahit itu, aku buat topimu kedalam tasku. Tiba-tiba saat aku berada tak jauh dari toko kita ini, topimu itu terjatuh ke trotoar. Disaat aku ingin mengambilnya, kudengar ponselku berdering dari dalam toko. Aku langsung masuk untuk mengangkat telpon tersebut."

"Sebenarnya aku ingin mengambil topimu itu setelah aku mengangkat telpon. Namun, aku benar-benar lupa. Aku terlalu asik menelpon hingga akhirnya lupa dengan tugasku untuk mengambil topimu yang terjatuh!" kataku menutup mata dengan kedua tangan dan benar-benar mengutuk diriku sendiri sebagai manusia yang ceroboh.

"Lalu, bagaimana ini, Rachel?" tanya Chintya. Aku mengerdikkan bahu tanda tidak tahu dan menghela napas tanda pasrah. "Oh ya! Apa kau ingat topi yang selalu dibawa Nash kemari dan memintamu untuk mengambilnya? Apa itu topimu, Rachel?"

Aku membuka mulutku selebar mungkin.  Ya Tuhan. Kurasa Chintya benar. Sekarang aku benar-benar menyesal karena telah mengabaikan Nash yang ingin berbuat baik itu. Kutepuk jidatku karena itu.

Aku segera pergi untuk mencuci tangan. "Oke. Oke. Kurasa sekarang aku harus ke apartementnya untuk mengambil topi itu sekaligus minta maaf dengannya. Aku sangat menyesal,"

Chintya mengangguk mantap bersamaan dengan aku yang merapikan rambutku yang sedikit kacau. Aku memasang sepatu putihku, lalu berjalan keluar dari toko roti menuju apartement Nash. Kuharap Nash tidak pergi hari ini.

Aku mendorong pintu lobby apartement, dan berjalan menuju meja resepsionis. Perempuan yang ada disana menyapa ku dengan senyuman hangat. "Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu, Nona?"

"Bisa saya bertemu dengan laki-laki muda, matanya biru tua cerah, bernama Nash Andreas?" tanyaku pada resepsionis.

"Oh maaf, Nona. Tuan Nash Andreas sudah pindah darisini sekitar dua setengah jam yang lalu. Katanya ia pindah ke Melbourne, Australia." jawab resepsionis itu yang membuatku membuka mulut lebih lebar.

"Apa?! Serius? Oh Ya Tuhan." kataku menepuk jidat. Aku memejamkan mataku beberapa detik, lalu membukanya kembali. "Hmm, Mba, apakah dia ada menitipkan sesuatu? Apa ia ada menitipkan topi warna merah muda dengan pita hitam melingkar?"

"Apakah nama anda Rachel Cross?" sang resepsionis bertanya balik.

"Ya! Iya! Nama saya Rachel Cross. Dia ada menitipkan sesuatu, kan untuk saya?" tanyaku dengan percaya dirinya. Akhirnya aku bernapas lega.

"Iya. Selain topi, ia juga ada menitip sebuah surat. Tunggu sebentar. Akan saya ambilkan," katanya berjalan menuju suatu ruangan. Yang aku bingungkan adalah, kenapa Nash bisa yakin bahwa aku akan datang kesini mencari topiku, sehingga dia menitipkan ke resepsionis? Ah tidak penting masalah itu.

"Ini, Nona." lima menit kemudian, resepsionis perempuan itu kembali dengan menyerahkan sebuah topi dan sebuah amplop panjang berwarna putih.

Aku tersenyum. "Terima kasih banyak." ia mengucapkan sama-sama lalu kembali ke meja--tempat dimana seharusnya ia berada.

Mataku menatap surat itu sebentar lalu membukanya. Aku sangat terkejut karena isi surat ini sangat panjang. Bahkan aku tidak habis pikir, bagaimana keadaan tangan Nash setelah menulis surat seperti ini. Baru kali ini aku mendapatkan surat sepanjang ini dari seorang laki-laki. Apalagi laki-laki itu lumayan aneh. Aku duduk di salah satu kursi disana, lalu mulai membaca.

To : Rachel Cross

Hei, Rachel. Aku minta maaf karena sudah memaksamu untuk menerima topi itu. Kau pasti menganggapku adalah laki-laki yang paling aneh yang ada di dunia. Ya. Kurasa kau benar, karena seringkali aku juga beranggapan begitu. Namun, kau nanti pasti akan membuktikan bahwa topi yang selalu kau tolak itu sebenarnya topimu sendiri. Sekarang itu terjadi, kan?

Karena aku melihat dengan jelas, topi itu jatuh dari tasmu. Aku awalnya bingung dan gelisah karena tidak tahu bagaimana cara menyerahkan sebuah topi pada seseorang yang kucintai diam-diam selama... 2 tahun. Kumohon jangan terkejut. Bagaimana jika kau menjadi aku yang mencintai seseorang selama 2 tahun, namun, sangat sulit untuk mengungkapkannya.

Kau tahu rasaku saat aku mengantarmu ke supermarket karena adikmu, Chintya, sakit? Waktu itu, di dalam hatiku aku senang bukan main. Jika aku bisa teriak dan loncat saat itu juga, aku pasti akan melakukannya. Dan yang perlu kau tahu juga, aku adalah laki-laki yang sangat, sangat, sangat sulit untuk jatuh cinta. Aku tidak tahu apakah itu bermasalah dengan psikologis atau tidak.

Seumur hidupku, aku hanya jatuh cinta sebanyak dua kali. Ya. Serius, dua kali. Pertama, dengan seseorang bernama Alara Edward saat kelas 3 Sekolah Menengah Pertama. Aku sangat menganggumi sosok Alara. Bahkan,  aku rela membelikan Alara apa saja bila kami bertemu di kantin. Aku bisa disebut penggemarnya Alara. Benar kata orang, cinta bisa membuat kita buta. Aku tidak tahu apakah Alara tahu bahwa aku menyukainya. Aku sama sekali tidak memiliki keberanian untuk mengungapkan cinta seperti cowok lainnya.

Namun, saat kelas 3, Alara mulai jarang masuk sekolah. Sekali masuk, ia hanya berdiam diri di kelas. Aku mengamatinya dengan bingung. Akupun bertanya pada temanku yang sekaligus sepupu Alara--Johnny namanya, ia mengatakan bahwa Alara terkena kanker otak stadium 3. Dan saat itu adalah terkejut paling hebat yang pernah kurasakan. Aku ingin marah dan menangis disaat yang bersamaan. Marah karena Johnny baru saja mengatakan hal itu, dan menangis karena mengetahui Alara akan meninggal.

Waktu yang ditunggu-tunggu itupun, tiba. Alara meninggal tiga minggu sebelum Ujian Sekolah. Bayangkan jika kau diposisiku saat itu. Kehilangan orang yang sangat... kau cintai, tiga minggu sebelum ujian? Nah disaat itu aku depresi berat. Aku kehilangan berat badanku 5,5 kilogram. Aku depresi seperti aku adalah pacarnya, padahal aku bukan siapa-siapanya. Kau pasti mengira aku terlalu dramatisir, kan?

Aku melupakan orang-orang disekitarku. Terutama dengan pelajaran. Satu minggu kemudian, Ibuku memanggil seorang psikolog. Ia menginap di rumahku dan khusus mengobatiku selama dua minggu. Katanya, aku memang memiliki masalah kejiwaan, yaitu, philophobia--takut jatuh cinta. Psikolog itu juga membantuku belajar menghadapi ujian dan menenangkan diriku disaat aku menangis tiba-tiba.

Mulai saat itu, SMA dan kuliah, aku berhenti jatuh cinta dengan perempuan siapapun. Bahkan saat itu, aku mengganggap aku adalah seorang gay. Psikolog yang mulai menua itu, tak henti-hentinya mencarikan seorang perempuan untuk menjadi temanku dan mengatakan untuk jangan pernah melihat kebelakang lagi. Itu semua gagal. Aku terus merasa trauma akan masa laluku.

Dan yang paling aneh yang pernah kurasakan adalah, aku jatuh cinta denganmu, Rachel. Aku tidak bisa membohongi perasaanku. Aku sangat bingung mengapa itu terjadi. Kukira, sampai aku mati aku bakal tidak menyukai perempuan. Disaat aku melihatmu, kejadian tentang Alara, seakan-akan hilang. Bahkan tak pernah ada dalam memoriku. Keluargaku dan psikolog itu, turut bahagia mendengarnya. Ralat. Mereka sangat bahagia. Sampai-sampai psikolog itu bingung mengapa gadis sepertimu bisa mengobati masalah psikologisku dibanding dengan seorang psikolog asli. Jangan bingung mengapa aku sangat tahu tentangmu.

Namun, disaat kemarin kau membentak dan meneriakkiku, kejadian sakit hati saat Alara meninggal, terulang kembali. Aku tidak tahu apakah lebih parah atau tidak. Namun, itu membuat memoriku akan masa lalu, terpasang kembali ke otak. Aku sangat bersyukur kau pergi setelah membentakku, karena kau tidak melihat aku menangis. Aku hanya berpikir, apakah aku ditakdirkan oleh Tuhan, jika jatuh cinta, aku selalu kehilangan? Benar kata orang. Jika kau jatuh cinta, berarti kau siap merasakan arti kehilangan dan merelakan.

Dan yang harus kukatakan adalah, bahwa mulai hari ini aku pindah ke Melbourne untuk bekerja, dan takkan pernah kembali lagi ke New York--atau tempat tinggalmu sekarang. Jika aku kembali pun, mungkin kau sudah mempunyai suami dan anak. Sebenarnya kemarin, aku ingin mengungapkan perasaanku selama 3 tahun, sebelum ke Melbourne. Namun, sepertinya sudah takdirku untuk tidak pernah mengungapkan perasaan kepada perempuan manapun.

Aku tidak tahu, apakah aku harus menunggu bertahun-tahun lagi sampai aku bisa jatuh cinta kembali? Atau aku harus memanggil seorang psikolog lagi? Aku ingin memberimu nomor telpon atau salah satu akun media sosialku, tapi kurasa itu sia-sia. Toh kau juga membenciku.

Sampai jumpa, Rachel. Kuharap kita bisa bertemu, kapan dan dimanapun itu :)

Sincerely,
Nash Andreas. Xx.

Aku langsung bangkit berdiri dari kursiku duduk, berlari, dan mendorong pintu kaca apartement dengan keras. Aku sudah menahan air mata yang ingin terjun sejak tadi. Dan rasanya sekarang aku tidak bisa lagi menahan hal itu. Dadaku sakit. Aku langsung mendorong pintu kaca toko rotiku, dan berlari menuju dapur. Tentunya semua pengunjung di kedai roti, kedua mata mereka langsung tertuju padaku.

Sesampainya di dapur, aku langsung memeluk Chintya sambil terisak-isak dibahunya. Perempuan itu langsung terkejut setengah mati melihat tingkahku. Baju kaos Chintya penuh oleh air mataku. "Ch-chintya! C-chintya!"

"Rachel?! Ada apa? Kenapa kau menangis? Rachel, jelaskan!"

Aku melepaskan pelukkanku dari Chintya dan mengambil beberapa helai tissue dapur untuk mengelap tangisku yang tak kunjung berhenti. Bibirku sangat kelu untuk mengungapkan satu katapun tentang Nash pada Chintya.

"Ada apa, Rachel?" tanyanya. "Kenapa seperti ini?"

"K-ka-kau bisa membaca ini!" aku menyerahkan surat tersedih yang pernah kubaca, karya Nash Andreas. Chintya mengerutkan keningnya, namun, langsung merebut surat itu. Sembari menunggu Chintya selesai membaca, aku duduk di kursi yang biasa kugunakan untuk membungkus roti.

Aku menundukkan kepala, memejamkan mata, dan membiarkan air mataku keluar tak henti-henti. Aku tidak habis pikir dengan semua cerita Nash. Ia menyukaiku selama 3 tahun? Menyimpan rasa selama 3 tahun bukanlah hal yang mudah. Bahkan saat aku masih pacaran dengan Nick satu tahun yang lalu, ia sudah menyimpan rasa terhadapku.

Oh Ya Tuhan. Dan aku tak habis pikir tentang orang yang menderita philophobia. Sengeri itu kah mereka? Atau hanya Nash saja?  Dan yang lebih bodohnya lagi adalah Nash di New York ini hanya sementara. Ia pergi ke luar benua dan tak akan kembali lagi kesini. Apa aku yang harus kesana untuk meminta maaf?

Saat aku menolehkan kepala ke arah Chintya, aku langsung diberi pemandangan pipinya yang benar-benar basah dan matanya merah. Ia menutup mulutnya dengan satu tangan. Chintya menyukai Nash, namun, ini yang terjadi.

"RACHEL!" teriak Chintya tiba-tiba kepadaku. "KAU TAHU KAN AKU MENYUKAI NASH?!"

Aku mengangguk perlahan. Bahkan, aku terlihat tidak sedang mengangguk. Baru kali ini adikku marah besar dengan kakaknya. "Kau ini lucu ya, Rachel." sambungnya. "Disaat orang lain sangat menginginkan kesempatan dan ternayata tidak mendapatkannya, kesempatan itu datang padamu. Namun apa? Namun, kau menolaknya, Rachel. Malahan kau membuang kesempatan itu!"

Aku hanya diam menundukkan kepala. Tidak mampu menatap mata basah Chintya. "Ak-aku menyesal. Aku minta maaf, Chin."

"Karena menyesal adalah sia-sia, maka permintaan maafmu sia-sia. Tidak dapat merubah apapun, Rachel!" teriak Chintya lagi. Tiba-tiba, ia melemparkan surat itu di depan wajahku. Lalu, kudengar langkah kaki beratnya menjauh dan menaiki tangga menuju kamar.

Satu yang ada di pikiranku, dengan bersamaan, aku telah menyakiti perasaan dua orang yang telah menyayangiku.

Day 7

Esoknya, aku dan Chintya masih belum berbaikkan. Tidak ada dari kami yang berbicara. Masing-masing dari kami benar-benar canggung. Bahkan malam tadi, Chintya makan malam diluar bersama dua orang temannya. Aku tahu. Ini semua salahku dan seharusnya aku yang mengajukan permintaan maaf.

Sekarang ini masih menujukkan pukul 6 pagi. Embun masih menempel di pintu kaca toko kami. Kami belum membuka toko roti. Masing-masing dari kami terdiam, hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Dan suara dari televisi yang mengisi keheningan. Tiba-tiba, suara breaking news dari televisi kami yang tertempel di ujung dapur, membuat kami sama-sama menoleh. Disana terlihat seorang perempuan berambut pirang pendek dan bermata coklat tua.

"Breaking news. Dikabarkan pesawat udara American Airlines dari New York menuju Melbourne, jatuh di Southern Ocean sekitar dua setengah jam yang lalu. Hanya ada satu peswat, yang kemarin diterbangkan dari New York menuju Melbourne. Seluruh tim SAR sudah diterbangkan kesana."

Mulutku terbuka lebar. Jantungku hendak copot detik ini juga. Chintya berjalan kearahku, dan ia sontak langsung memelukku. Tangisnya tiba-tiba memecah mengisi keheningan toko roti kami. Begitu pula denganku, air mataku sudah jatuh, dua detik setelah Chintya. Pikiran kami berdua sama.

Nash Andreas. Ia berada dalam pesawat itu. Dan kemungkinan dirinya dalam keadaan selamat, hanya sebesar debu.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Wisthle (creepypasta)

The Secret Behind The Door

The Girl With a Red Ribbon in Her Hair