Tentang Cowok yang Selalu Mendengarkan Lagu

PART 1


Ketika aku membuka jendela kamar, matahari langsung menyilaukan mata dan membuat suasana kamar cerah seketika. Burung-burung berkicau dengan merdunya Ya, cuaca yang bagus. Hari ini adalah tahun ajaran baru. Aku bergegas mengambil handuk, menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi sekitar sepuluh menit, aku mengambil tas sekolah dan bergegas turun. Menuju meja makan. Mengambil lauk pauk yang sudah tersusun rapi di atas meja. Aku bercepat-cepat karena takut terlambat. Hari ini adalah hari Senin. Dan hari ini, seperti biasa, diselenggarakannya upacara. Seandainya tidak upacara, aku bisa saja lebih lambat. Seperti hari biasanya.

"Dania, kamu sudah siap?" Papa bertanya padaku.

Aku menggeleng. "Belum, Pa. Sebentar, ya, Dania minum susu dulu." Papa mengangguk. Dia kembali membenarkan dasinya yang tidak berantakan sedikitpun. Seperti biasa, aku diantar Papa ke sekolah. Sebelum ke kantornya, dia mengantarkanku terlebih dahulu.

Upacara sudah selesai. Aku langsung berjalan mengikuti langkah kaki sahabatku, Sinta, menuju ke kelas kami. "Dan, hari ini katanya ada murid baru loh, di kelas kita. Sudah tau enggak?" Kata Sinta ketika langkah kaki kami sudah beriringan.

Aku mengerutkan dahi. Aku menggeleng. Aku belum tahu. Dan aku sedikit terkejut. Itu berarti, aku punya teman baru. Dan murid kelas kami yang 33, menjadi 34 orang.

"Oh ya? Belum. Belum tau aku."

"Kalo cewek, jadiin temen. Kalo cowok dan ganteng, langsung aja gebet." Sinta tertawa kecil. Tangannya mendorong sedikit badanku.

"Ih apaan sih, gaje ah." Jawabku kesal, merengut.

"Canda kenapa sih. Sensi banget. Lagi pms, Dan?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Sinta. Hanya memutar bola mata. Aku masuk ke kelasku, yang di depan pintunya bertuliskan besar 11 IPA-3. Aku dan Sinta sudah sampai di kelas, aku segera menuju kursi urutan ketiga dari depan, dan barisan kedua dari pintu masuk. Aku tidak duduk dengan Sinta. Melainkan duduk dengan Rangga. Wali kelasku yang mengatur tempat duduk kami.

Rangga anak yang baik, syukurlah. Tidak terlalu suka mencontek (seperti anak-anak lainnya), dan tidak suka mengangggu perempuan (dalam artian mengganggu seperti menyentuh dan mengejek). Tapi, dia sering sekali menggodaku. Namun, bukan berarti Rangga feminim. Ia cowok sekali, kok. Badannya putih, bibirnya tipis, hidungnya mancung, dan rambut hitamnya yang cepak.

"Gimana liburan lo, Ga?" tanyaku setelah duduk di kursi.

Rangga tidak mengalihkan pandangannya, masih bermain game di ponselnya. Ia hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Baik-baik aja kok." Singkat, padat, tidak jelas. Jawaban aneh itu yang malah aku dapat.

"Apanya yang baik-baik aja, sih?" tanyaku. "Maksudku, kamu liburan kemana? Jalan-jalan atau di rumah saja? Jalan keluar negeri atau keluar kota atau sama temen-temen di dalam kota? Gitu!!!"

"Oohh. Bilang dong," jawab Rangga santai. Aku memutar kedua mataku. "Gue keluar kota selama 4 hari. Terus nginap di rumah temen 3 hari. Udah itu aja sih."

"Sisanya?" tanyaku belum puas atas jawaban yang keluar dari mulut Rangga. "Kan liburan lebih dari seminggu. Masa kamu cuma ceritain seminggu aja."

"Kepo banget kenapa sih, Ni?" Sekarang wajah Rangga sudah berubah menjadi agak sebal. Ia mempause-kan permainan di ponselnya. Berbalik ke arahku. "Ya sisanya cuman di rumah doang. Belajar. Main futsal. Ngerjain pr. Bantu mama masak. Main ps. Nonton film. Main futsal sama anak-anak sekolah lain. Gimana? Puas? Emang mau lo jawaban gue gimana sih?" tanyanya menatapku tidak senang.

"Yaudah iya, iya, iya. Santai dong, Ngga. Kan, aku orangnya suka gitu. Kayak kamu tidak tau saja." Jawabku menjulurkan lidah. Meledek padanya.

Tiba-tiba saja, ketua kelas kami, Rio, berteriak. Cowok itu bergegas menuju mejanya. Ia berteriak kalau Bapak Syaiful sedang dalam perjalanan menuju kelas. Murid-murid yang berbincang pada teman-temannya, menghentikan kegiatan, langsung mengambil posisi di tempat.

Tak lama kemudian, Bapak Syaiful, guru wali kelas kami, mausk ke kelas. Dan yang benar saja. Bapak Syaiful tidak datang sendiri. Dia bersama seseorang asing. Disampingnya ada seorang anak laki-laki yang bertubuh tinggi, memakai kacamata, berkulit kuning langsat, beralis tebal, bibir tipis, dan rambut hitam yang disisir rapi.

"Assalamualaikum, anak-anak."

Kami semua berdiri, menjawab salam dengan serempak. Rata-rata teman-temanku, masih tidak melepaskan pandangan pada anak baru itu. Termasuk aku sendiri. Memandangnya mulai kepala sampai kaki.

"Selamat pagi, semua." Jawab pak Syaiful. "Oh iya, hari ini kalian kedatangan murid baru. Silahkan perkenalkan namanya, Nak."

Laki-laki itu mengangguk. Tanda mengerti Dia tidak tersenyum. Wajahnya datar. Tidak ada ekspresi apa-apa dari raut wajahnya.

"Assalamualaikum, selamat pagi, semua. Namaku Rian. Nama panjangku Muhammad Rian Pratama. Aku berasal dari Palembang. Dan aku pindah kesini karena orangtuaku pindah bekerja. Terima kasih."

"Selamat datang, Rian." Rio sebagai ketua kelas, mewakili kami semua. "Semoga nyaman di kelas kami."

Rian mengangguk pada Rio. Namun, tidak memberikan ekspresi apa-apa. Tersenyum pun rasanya susah. Pak Syaiful menyuruh kami dan Rian untuk duduk. Rian mengedarkan pandangannya. Akhirnya anak itu duduk bersama Emma, yang sebelumnya Emma duduk sendiri. Oh iya, Rian duduk tepat bersampingan denganku.

*****


Bel istirahat sudah berbunyi. Anak-anak berteriak. Seperti mendapatkan uang cuma-cuma. Aku segera mengeluarkan kotak makan siangku dari bawah meja, yang pagi tadi pagi, sudah aku keluarkan dari dalam tas, lalu meletakkannya di bawah meja. Aku membawa bekal yang sudah disiapkan oleh bibi di rumah. Bekalku berisi nasi secukupnya, dua sosis ayam berukuran besar, satu telur dadar, beberapa brokoli dan wortel rebus.


Tiba-tiba saja, saat aku sedang menyuap, pandanganku teralih pada Rian. Dia sendiri. Dan ia juga tidak makan apa-apa. Anak itu hanya minum. Meminum air dari botol yang dibawanya dari rumah. Aku hendak bertanya, tapi mengurungkan niat. Karena, sekarang dia menggunakan earphone di telinganya. Bagaimana aku hendak bertanya? Mendengar saja dia tidak. Aku mengangkat bahu. Aku memutuskan melanjutkan menyuap nasi ke mulut dari bekal.


Rangga datang tak lama kemudian. Dia habis dari kantin. Setelah dia duduk disampingku, aku menyuruhnya. "Ga, coba kamu tanyain Rian dong, kenapa enggak makan? Kali aja dia tidak tau dimana kantin atau dia lupa membawa uang jadi dia tidak makan. Kasian kalau dia kelaparan, kan. Masa murid baru dicuekin."


"Kenapa enggak lo aja?"


"Masa aku sih?" tanyaku sebal. Memuta mata. "Dia tuh pakai earphone. Lihat, tuh. Gimana aku mau tanyain?"


"Nah berarti sama, dong. Gimana gue mau tanyain kalau dia lagi asik dengan dunianya sendiri?!" Rangga menaikkan sebelah alisnya padaku. Wajahnya benar-benar minta ditampar. Aku benar-benar kesal setiap hari jika Rangga seperti itu.


Aku berdecak. "Yaudah. Tidak usah kalau begitu."


"Iya, yaudah, iya, iya. Gue hampirin dia terus gue tanyain nih. Wajah lo makin cantik deh, Ni, kalau lagi kesal gitu sama gue. Makanya gue suka bikin lo kesal. Jadi, gue sering juga lihat wajah lo makin cantik." Godanya. Setelah itu, dia tertawa.


Aku hendak menampar Rangga sekarang juga!


Apa katanya? Gara-gara kata-kata manis tapi busuk nya itu, pipiku langsung merah. Walaupun aku tidak melihat pipiku, tapi, aku memastikannya. Sekarang, aku tidak berselera untuk makan. Karena mengingatnya kembali bikin hendak muntah. Menutup bekalku, lalu menyimpannya, agar istirahat kedua, bisa aku makan lagi.


"Ni,"


"Apa?" Jawabku menatap Rangga malas.


"Katanya dia tidak lapar."


"Yasudah kalau gitu."


****


Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku segera merapikan tasku dan bersiap pulang. Kali ini, aku memutuskan mencuri-curi pandang agar dapat melihat Rian. Aku melihat Rian lagi-lagi mengenakan earphone di telinga nya. Seharian ini aku selalu melihatnya mengenakan earphone. Dia melepas earphone nya ketika jam pelajaran saja. Setelah itu, dia kembali memasang. Karena dia selalu mendengarkan lagu, jadi banyak yang ragu-ragu untum berbincang padanya. Aku mengedikkan bahu. Mungkin dia sangat senang mendengarkan lagu.


Dia terlihat sangat pendiam. Wajahnya selalu datar. Tidak menampakkan senyum atau apapun selain wajah datarnya. Satu ekspresi cukup pada wajahnya. Ya, aku sudah mengetahuinya hari ini, baru saja. Dia pasti anak yang introvert.

PART 2


Siang ini aku hanya sendiri saja ke kantin, tidak bersama siapapun. Ingin membeli makanan untuk makan siang. Belum sampai aku di tempat yang aku tuju, entah kenapa, aku sudah mendengar beberapa anak berteriak dan saling mentertawakan. Ada apa? Atau jangan-jangan masalah Rian lagi? Aku segera mempercepat langkahku menuju kantin. Mataku bergerak kesana kemari mencari sumber terjadinya sesuatu. Nah yang benar saja. Aku melihat Rian bersama kelompok Damar. Ya. Kelompok Damar. Geng milik Damar. Geng yang pembuat onar di sekolah. Sebuah kelompok yang begitu terkenal sampai ke sekolah-sekolah lain.

Siapa yang tidak mengenal Damar dan kelompoknya? Damar adalah anak kelas 12 yang selalu membuat kekacauan di sekolah dan tidak terhitung kehadirannya di ruangan BK. Tidak ada guru yang tidak mengenal. Bahkan guru yang baru beberapa minggu mengajar saja sudah mengetahui Damar. Damar, laki-laki berhidung mancung, bermata coklat, rambut berwarna coklat naik ke atas, bulu mata yang lentik, berbibir tipis, dan mempunyai luka gores kecil di samping hidung.

Banyak perempuan yang menyukai Damar karena kekerenannya. Dan juga tidak sedikit perempuan yang membencinya karena kelakuannya yang sangat menyebalkan. Damar anak brokenhome, orang tuanya tidak tahu yang mana. Kata teman-teman, orang tua tidak pernah ke sekolah. Yang mengambil rapot Damar juga tukang ojek atau satpam rumahnya.

Aku langsung berlari ke arah Rian, memberanikan diri menembus orang-orang yang menonton. Rian seperti biasa, dibully oleh Damar. Lagi. Ia sudah tidak habis-habis membully orang-orang. Rian sudah bersekolah disini selama 4 minggu. Dan Damar membully Rian hampir 1 minggu. Damar tidak menyukai Rian. Katanya, Rian itu sombong. Tidak suka tersenyum. Tidak mau berbicara. Tidak sopan. Sering memakai earphone. Tidak mendengarkan peringatan Damar. Tidak menjawab pertanyaan Damar. Hanya diam. Seperti orang bisu. Damar tidak menyukainya hanya karena itu.

Lalu, dia dan kelompoknya berani mengata-ngatai Rian dengan kata-kata jorok dan mengerikan. Tidak hanya mengata-ngatai. Dia juga melakukan perbuatan tidak senonoh pada Rian. Aku sangat tidak nyaman. 5 hari yang lalu, Damar meletakkan cicak dalam sepatu Rian (bahkan dia tahu sepatu Rian yang mana), 4 hari yang lalu Damar menumpahkan kopi ke dalam bakso Rian, 3 hari yang lalu, kelompok Damar mengunci Rian di toilet, 2 hari yang lalu kelompok Damar merobek celana seragam Rian dengan cara mengguntingnya. 1 hari yang lalu, kelompok Damar memukul Rian saat ia ingin ke sekolah. Rian yang bercerita kepadaku. Lalu, aku menceritakannya kembali pada Rangga dan Sinta.

Ya Tuhan. Sekarang apa lagi yang akan diperbuat Damar?

Aku berjalan ke arah Rian, menarik Rian. Aku memegang lengannya. Aku sangat gugup. Aku menarik dia agar segera pergi darisini. Namun, Damar langsung menahanku. "Berani-berani nya lo membawa dia pergi? Mau kemana lo? Emang lo siapa? Anak kelas 11 ya? Udah berani sama kaka kelasnya?"

Ugh. Aku hendak melempar wajahnya dengan sepatu atau menumpahkan bakso ke wajahnya. "Aku mau membawa temanku ke kelas. Kami ada tugas. Dan harus kami kerjakan sekarang juga. Dia tidak berada di kelas. Jadi, aku ke kantin, mencarinya, lalu menemukannya. Aku harus membawanya kembali sekarang juga ke kelas, agar tugas kami selesai. Permisi." jawabku mengarang alasan. Menatap mata Damar yang menatapku balik dengan tajam.

"Lo hanya temennya dia! Dan sekarang dia ada urusan sama gue!!!!" Damar membentak meja di kantin. Membuat semua orang, termasuk penjual makanan di kantin, terkejut bukan main. "Ngapain lo seenaknya narik-narik musuh gue."

"Aku temannya dia! Kami ada tugas. Dan kakak bukan Tuhan atau presiden atau gurbernur atau guru atau menteri atau lurah atau ketua RT yang berhak mengatur aku dan Rian. Kami punya urusan yang harus kami selesaikan! Kakak hanya seorang murid yang orang tuanya bahkan tidak peduli dengan kakak lagi!" kataku membentaknya balik. Ini saatnya aku bertindak. Tidak seperti orang-orang pecundang yang hanya menonton di belakang sana.

Damar terkejut. Ekspresinya berubah 180 derajat. Dia terdiam lama. Entah kenapa. Maka dari itu, tanpa memperpanjang waktu lagi, aku berkata pada Rian, "Ayo, Rian! Cepat pergi darisini." aku menariknya, dan berpaling. Ketika aku belum jauh keluar dari situ, aku merasakan tamparan mendarat di pipi kananku. Aku meringis kesakitan.Rasanya sangat ngilu. Aku terkejut, ketika melihat Damar lah yang ternyata menamparku.

"LO SIAPA ANAK KECIL? BERANI BANGET NGATAIN GUE ENGGA PUNYA ORA--"

"DANIA!!! CUKUP!" Rangga, bagai pahlawan kesiangan menghalat aku dan Damar. Dia langsung menyambar tanganku dan Rian. Kamipun langsung hilang sekejap dari kantin.

Aku masuk ke kelas sambil memegangi pipiku. "Dania!" itu suara Sinta. Dia membantuku berjalan, sampai ke kursi. Teman-teman sekelasku semuanya, menatap ke arahku. Ada beberapa yang bertanya pada Rangga tentang aku, Rian dan Damar.

"Lo enggak apa-apa, Dan?" tanya Sinta. Wajahnya pucat. Aku menggeleng. Tidak ada yang baik-baik saja disini. "Aku ditampar sama Damar. Aku melindungi Rian dan aku langsung ditamparnya,"

"WHAT? DEMI APA, NI?!!! Bener--"

"Dania, gue minta maaf," suara Rian yang begitu pelan memotong suara Sinta yang nyaring bagai halilintar. Aku langsung mengangkat kepala, dari yang awalnya menunduk. Aku melihat bulir-bulir air mata dari matanya Rian. "Gue minta maaf karena telah melibatkan lo dengan Damar. Maafin gue, lo jadi sakit begini."

Aku menggeleng, tanda tak setuju. "Kamu salah, Rian. Bukan kamu yang ngelibatin aku. Tapi, diriku sendiri yang ingin melibatkan diri sendiri. Aku tidak bisa membiarkan Damar bertindak sesuka hatinya, walaupun dia sudah kakak kelas dan kita masih adik kelas. Aku hanya ingin melawan. Lagipula, sakit ditampar Damar tidak seberapa dengan perlakuan Damar terhadapmu selama beberapa hari ini."

Rian mengangguk pelan dua kali, tanda mengerti. "Terima kasih, Dania."

******


Bel pulang sekolah berdering ke seluruh penjuru sekolah. Aku pulang kali ini hanya berjalan kaki saja. Tidak ingin naik angkutan umum. "Mau gue temenin pulangnya, Dan?" Sinta menawarkan padaku.

Aku menggeleng. "Enggak, enggak usah. Makasih. Aku bisa sendiri."

"Serius? Lo enggak takut dilabrak sama Kak Damar habis ini? Gue ada perasaan enggak enak loh, Dan. Anggota geng Damar itu banyak, dan lo harus ekstra hati-hati." Sinta masih mencoba merayuku. Memasang wajah memelas.

Aku hanya tertawa kecil. "Aku serius, Sinta. Tidak apa-apa. Kalo emang misalnya aku meninggal hari ini karena disiksa oleh gengnya Damar, yaudah. Berarti umur aku engga panjang. Itu udah rencana Tuhan,"

"APAAN SIH, DAN?! Kok lo ngomong kayak gitu sih. Dih ah. Jangan meninggal juga kali." Sinta merengut sebal. Memukul bahuku. "Yasudah deh. Gue pulang duluan, ya. Kakak gue udah jemput. Hati-hati ya, Dan. Kalo ada apa-apa hubungin aja gue atau orang tua gue atau siapa kek."

"Siap, Bos!" Kataku tertawa, bersikap hormat. Aku sudah berjalan keluar dari gerbang. "Hati-hati, Sinta."

Sebenarnya perasaanku sangat gugup, bahkan jika ada pengukur detak jantung, kecepatannya sangat tinggi. Aku terus saja berjalan secepat mungkin keluar dari komplek sekolah, sampai akhirnya mataku menemukan sosok Rian berkumpul dengan beberapa orang.

Aku langsung berlari menghampiri beberapa orang yang tengah berjalan bersama Rian. Ya, itu Rian. Aku sangat tahu bagaimana sosok Rian. Karena, ia selalu mengenakan earphone di telinganya. Seolah-olah lagu adalah separuh hidupnya. Karena mataku selalu saja melihat ia mengenakan earphone.

Aku memperlambat langkahku saat sudah beberapa langkah di belakangnya. Rian tengah berjalan bersama 3 orang murid kelas sebelah.

"Makasih ya, Rian!" Itu suara Eka, anak paling pintar satu angkatan. "Kalau kamu tertarik, hubungin aja aku, Tara, atau Dina."

Rian terlihat mengangguk. Tara menepuk bahu Rian. "Kami duluan, ya. Hati-hati di jalan." Katanya. Rian mengangguk lagi, sambil tersenyum. Mereka pun berjalan mendahului Rian. Laki-laki itu langsung mengembalikan earphone di telinganya. Setelah mereka pergi, aku langsung menjejerkan langka kakiku agar sama dengannya.

"Mereka menawarkan apa?" tanyaku mendadak.

Rian menoleh, terkejut. Terkejut akan kehadiranku yang sangat tiba-tiba. Ia hanya menggelengkan kepala pelan, melepaskan sebelah earphonenya, lalu berkata, "Mereka menawarkan bimbingan belajar."

"Wah bagus tuh. Kamu terima?"

Rian menggeleng, berkata pelan, "Belum. Gue enggak tau. Gue belum bilang sama orang tua. Nanti mereka marah."

Aku membentuk mulut menjadi huruf O, tidak mengeluarkan suara apapun. Mengangguk pelan. Tanda mengerti. Sebenarnya, aku ingin pulang bersama Rian. Untuk menemaninya, agar dia tidak apa-apa. "Rian, boleh pulang bareng, tidak?"

Rian menghentikan langkahnya. Dia menolehkan wajah, memandangku lama. Seakan-akan tidak percaya dengan pertanyaan yang baru saja aku lontarkan. "Eh, kenapa? Gue pulang naik kereta api. Rumah lo dimana?"

Aku mengerutkan alisku, tanda tidak percaya. Oh, jadi Rian pulang naik kereta api? Berarti rumahnya jauh dong? Astaga. Kenapa aku tidak bertanya dulu rumahnya dimana. Kenapa aku langsung ingin pulang bersama? Duh. Aku pulang hanya menggunakan angkutan umum. Tidak sampai menggunakan kereta api segala. Karena rumahku dekat.

"Eh i-iya? S-s-sama dong. Aku naik kereta api juga. Jadi, barengan ya. Hehe." Jawabku berbohong. Hanya agar bisa pulang bersamanya. Aku juga harus memikirkan alasan yang akan kukatakan pada Ibuku agar dia tidak mengkhawatirkan diriku yang pulang larut sore. Jika aku tidak melapor padanya, Ibuku bisa sampai menelpon Sinta atau Rangga. Masalah akan menjadi tambah panjang.

"Santai aja, kok. Enggak usah takut gitu pulang bareng aku. Hehe."

Rian--cowok yang jarang mengatakan sesuatu itu, hanya tersenyum, mengangguk.

******


Kami tiba di stasiun. Stasiun sangat ramai. Karena orang-orang juga banyak yang pulang kerja. Pengamen, pedagang asongan, menghiasi keadaan stasiun. Aku juga sempat buang air kecil tadi disini. Aku berdiri menunggu kereta bersama Rian di depan rel. Angin sore menghembus-hembuskan rambutku. Kereta berhenti di depan kami. Orang-orang dari kereta bergegas turun. Bergantian dengan kami yang ingin masuk. Ketika aku ingin maju untuk masuk ke dalam kereta, Rian menahanku, dengan memegang tanganku.


"Jangan sekarang. Ramai. Masih banyak orang. Habisin orang dulu. Gantian. Baru kita naik," katanya, seolah-olah bisa menjawab pertanyaanku mengapa ia menahanku. Jantungku berdegup kencang, ia memegang tanganku. Aku gugup, tentu saja. Aku menelan ludah. Mengangguk kecil.


Rian melepaskan tangannya, dan kami masih menunggu. Setelah beberapa lama, aku dan Rian bersama-sama masuk ke dalam kereta. Kami duduk bersampingan. Terdiam cukup lama. Rian masih terus mendengarkan lagu dari earphone yang tak pernah berhenti bergantung di telinganya. Demi mengusir kesepian diantara kami, aku ingin bertanya sesuatu tentangnya. "Rian, boleh aku bertanya sesuatu?"

Rian mengangguk sambil tersenyum padaku.

"Hmm.. anu.."

"Ya?" Dia memandangku, menungguku melontarkan pertanyaan untuknya.

"Mengapa... mengapa.. kamu selalu mengenakan e--" 

"Earphone?"

Seakan-akan cowok itu bisa membaca pikiranku, dia langsung memotong kalimatku. Aku kaget, tentu saja. Ternyata dia sudah mengetahuinya.


"Gue sudah sering mendapatkan pertanyaan seperti itu, Dania. Jadi, gue udah bisa nebak kalo itulah yang bakal lo tanyain," dia tersenyum ramah. Aku sangat bingung sekarang.

Jantungku rasanya naik ke paru-paru. Aku canggung. Gelisah. Aku merasa tidak nyaman pada Rian. Tidak tahu harus berkata apa. Dan tidak tahu harus melakukan apa. Aku menelan ludah, merasa bersalah. Udara di sekitarku berubah rasanya. Jika saja waktu bisa diulang kembali, aku akan menarik lagi perkataanku. Bagaimana ini?

"Enggak usah merasa bersalah kayak gitu. Santai aja Dania," katanya memecah keteganganku. Memecah lamunanku. Rian sepertinya benar-benar bisa membaca pikiran manusia. "Wajah lo kayak orang mau ujian nasional."

"Eh hehe. Maaf, Rian. Maaf kalo kamu tersinggung,"

"Engga apa-apa," jawabnya tersenyum. "Karena lo orang yang baik banget sama gue, gue ceritain. Gue anak brokenhome, Dan. Gue engga suka sama ayah gue. Ayah gue pemarah. Sangat pemarah. Gue sangat sering dimarahin sama dia. Dia suka marah-marah yang engga jelas. Dia suka ngomogin orang sambil marah-marah. Dia suka ngefitnah orang sambil teriak-teriak. Dan itu sudah sering gue buktiin. Kadang ayah gue suka bohong sama gue dan ibu. Ibu juga engga suka sama ayah. Karena gue enggak mau dengerin ayah, gue masuk ke dalam kamar, ngambil earphone, dengerin lagu keras-keras, supaya suara ayah gue engga terlalu terdengar.

"Ayah dan ibu gue ngekang gue. Gue enggak dibolehin kemana-mana. Gue disuruh belajar aja di rumah. Sampai mabuk. Kalau mau belajar bareng temen, itu susahnya minta ampun. Ayah dan ibu gue masih belum percaya sama gue, dan gue membenci itu. Gue sering iri sama teman-teman. Mereka sering jalan-jalan, liburan gitu atau apalah. Ya, paling gak keluar rumah, kan? Sedangkan gue, di rumah. Jalan-jalan keluar rumah selain belajar bareng sama teman, cuman 3 atau 4 bulan sekali. Di rumah, gue bersih-bersih, dengerin lagu, nonton film di ponsel, nonton acara televisi, baca komik, sama baca novel. Ngapalin rumus-rumus atau pelajaran palingan. Hidup gue ngebosenin banget kayaknya ya, Dan.


"Ayah gue sering mukul gue sama Ibu. Ibu masuk ke kamar gue, dan Ibu nangis sambil meluk gue. Baju gue basah. Gue engga tau caranya menenangkan ibu. Terkadang gue memakai earphone karena engga nyaman dengar tangis Ibu di dalam kamarnya. Ibu sering tinggal di rumah nenek. Kadang, gue sama ayah aja di rumah berduaan. Gue mau banget negur ayah gue, tapi engga berani sama sekali. Gue mau negur dia, untuk shalat lima waktu, untuk shalat Jumat, untuk ingat sama Tuhan. Gue mau negur dia kalo ngefitnah sama ngeghibah orang itu gak boleh. Itu dosa. Tapi, yang namanya ayah gue pemarah, gue engga berani. Gak berani, Dan. Gue takut kalau gue dianggapnya sok suci, terus gue diteriakkin.

"Oiya, gue enggak berani ikut Ibu ke rumah Nenek. Ayah ngelarang gue. Kalau Ibu enggak ada, gue harus siapin dia sarapan, cuci baju dia, bersihin piring makan dia, siapin perlengkapan kerja dia, menyapu lantai rumah habis pulang sekolah. Kalau enggak gitu, gue enggak diberi uang dan bakal kena pukul terus, Dan. Gue benci keadaan di rumah. Gue kira, di sekolah baru gue, keadaannya membaik. Eh ternyata, engga ada yang membaik." Kata Rian. Aku meneteskan air mata begitu banyak ketika mendengarnya. Sepertinya Rian tahu.

"Tidak ada yang membaik, Dan." Ia masih berkata. "Semuanya sama. Di rumah gue benci ayah gue dan di sekolah gue dibully sama orang-orang. Apalagi sama Kak Damar. Tapi, setidaknya hidup gue di sekolah, tidak seburuk di rumah. Gue masih punya lo, Rangga, sama Sinta yang baik banget sama gue. Yang udah melindungi gue. Gue senang kalian berani belain gue, yang hanya sebatas teman kalian."

Teng. Bunyi kereta yang menandakan bahwa sudah sampai di stasiun berbunyi. Akupun langsung menghapus air mataku. Kami menunggu penumpang bergantian turun. Setelah sudah tidak ada lagi yang keluar, giliran aku dan Rian yangbberdiri. Tanganku memegang tangan Rian dengan erat. Kami keluar dari kereta. Kami berjalan keluar dari stasiun masih berpengangan tangan. Aku tidak ingin melepas tangannya. Tidak ada sama sekali dorongan untuk melepaskan tangannya.

"Dania, lo baik-baik aja?" Rian bertanya. Aku mengangguk. Aku tersenyum menatapnya. Tersenyum paksa demi dirinya. Aku ingin menangis lagi.

Aku masih berpengangan tangan dengan cowok itu ketika Rian berkata bahwa kami sudah dekat dengan komplek rumahnya. Aku mengentikan langkahku. Rian terkejut. Ia juga ikut berhenti karenaku. Ketika ia berpaling menghadapku dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu, aku melingkarkan tanganku di badannya. Aku memeluk Rian.


PART 3

"Rian..." aku menangis. Aku menangis tersedu-sedu. Aku menangis di dada Rian. Aku menenggelamkan dadaku disana. Aku tau ini sepertinya tidak sopan. Aku tau ini agak aneh karena baru saja mengenal Rian. Tapi aku tidak tahan. Aku tidak tahan mendengar dan merasakan apa yang telah Rian lalui dihidupnya. Aku tidak tahan mengetahui alasan mengapa ia selalu mendengarkan lagi setiap hari. Aku tidak tahan ketika mengingat Rian dibully oleh Damar siang tadi. Ya Tuhan. Mengapa Rian--seseorang yang begitu baik seperti dia harus mendapat cobaan seperti ini?

"Dania????" Rian bertanya pelan. Aku tidak menjawab. Terus menangis. Ia memelukku balik. Rian meletakkan dagunya diatas kepalaku. Rasa hangat menjelajari seluruh tubuhku. Rasa nyaman dan hangat. Tangan Rian mengelus rambutku dengan lembut.

"Dania, lo engga usah nangis seperti ini. Gue yang bercerita aja engga nangis. Engga ada gunanya, Dan. Udah ah, jangan nangis lagi," Rian memelukku erat. "Dan, gue berterimakasih sama lo, karena selama di kelas, lo sudah mau berteman baik sama gue. Gue yakin lo ikhlas berteman sama gue. Bukan karena apa-apa. Terima kasih karena lo udah pinjamin catatan, nawarin gue makan, bikin gue ketawa, cerita-cerita hantu bareng gue, ngisi TTS bareng, ngerjain PR bareng, main TOD bareng selama beberapa minggu ini. Gue senang banget rasanya. Walaupun gue dimarahin sama ayah dan dibully, gue tetap merasa masih menjadi manusia, Dan. Karena lo. Gue merasa menjadi diri gue yang bahagia."

Aku menarik tubuhku dari pelukan Rian, lalu mengangguk pelan. Aku memandang Rian dengan mata yang sangat sembap. Aku mengangguk. Ia tersenyum padaku. Senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. Senyum terindah dari seseorang yang pernah aku lihat. Aku menyukainya. Aku menyukai senyum Rian. Aku menyukai segala tentangnya. Aku menyukai sifatnya.

"Sudah ya, Dan. Jangan nangis lagi. Nanti dikira orang tua lo, gue ngapa-ngapain lo." Rian tersenyum. "Terus kalau gue dituduh ngejek lo gimana dong?" Ia mengambil selembar tissu dari tasnya, memberikannya padaku. Aku mengambilnya, mengucapkan terima kasih, lalu menyapukannya pada mataku. Aku dan Rian bersamaan menatap ke arah matahari, yang sebentar lagi akan tenggelam kembali ke rumahnya.

"Dania, gue mau pulang dulu, ya. Terima kasih sudah nemani gue. Terima kasih."

*****


Aku menutup buku tulisku ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. Aku beringsut ke tempat tidurku. Aku duduk disana, lalu mengambil selimut. Mendekapnya ketubuhku. Aku menutup mataku, membayangkan bagaimana berada dipelukan Rian. Membayangkan bagaimana jika hidup Rian, aku alami. Aku yang mengalaminya.

Aku ingin membantunya. Aku tidak bisa diam hanya mendengarkan curahan hatinya lalu menangis. Aku ingin membantu menyelesaikan masalahnya. Aku ingin agar dia benar-benar bahagia. Aku ingin membantu menyelesaikan masalah ayahnya. Walaupun itu tidak terdengar masuk akal dan sepertinya mengerikan, tapi, jika ada niat, aku yakin pasti bisa. Aku percaya tidak ada yang tidak mungkin. Kalaupun nanti tidak membuahkan hasil, tapi, jika kita sudah berusaha, kita pasti sudah merasa senang walaupun usaha kita tidak ada hasil yang setimpal. Setiap orang berhak mendapatkan kebahagiaannya.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Wisthle (creepypasta)

The Secret Behind The Door

The Girl With a Red Ribbon in Her Hair