The Secret Behind The Door

Setiap hari saat berangkat atau pulang sekolah, aku selalu melalui jalan yang sama. Jalan dimana aku harus melewati sebuah rumah tua yang dindingnya bercat kuning dan pintunya yang diberi warna biru tua. Yang aneh untuk dipikirkan adalah bahwa pintu biru itu jarang sekali dibuka. Bahkan selama empat tahun aku melewati rumah itu, hanya pernah sekali aku melihat pintunya terbuka.

Bukan hanya aku yang mengatakan hal itu, tetangga-tetangga disekelilingnya juga sangat jarang melihat celah-celah dari balik pintu itu. Pernah seseorang berkata, bahwa pemilik rumah itu adalah seorang perempuan yang memiliki rambut coklat yang keriting dan seumuran denganku--kurang lebih 16 tahun. Dan tidak pernah ada orang yang mendengar suara dari perempuan pemilik rumah itu.

Bahkan yang lebih mengerikan lagi, jika ada orang lain selain pemilik rumah itu sendiri yang masuk ke dalamnya, orang yang masuk itu tidak akan pernah keluar lagi.

****

Hari ini, aku bersama dua orang temanku, melewati rumah berpintu warna biru itu. Kami berhenti berjalan lalu duduk dikursi tepat diseberang rumah aneh yang sedang kubicarakan. Salah satu dari temanku, Angga, mengatakan bahwa ia tidak percaya dengan ketakutan yang kubicarakan tentang rumah itu.

"Siapa tahu dia bisu, kan?" tanya Angga. "Jadi, dia tidak berbicara."

"Menurutku tidak," kataku. "Biasanya orang bisu yang baik, akan memberitahu tetangga-tetangganya bahwa ia bisu dengan cara apapun. Dan semalu-malunya dia karena bisu, ia pasti tetap sering keluar rumah."

"Ya. Aku setuju dengan Christy." sambung Anggi--adik dari Angga. "Dan apa kau tidak takut kalau saja pemilik rumahnya adalah seorang psikopat?"

"Heh! Jaman sekarang kalian masih percaya saja yang seperti itu?" Angga berdiri dari kursi. "Begini saja, biar rasa penasaran yang menggerogoti kalian hilang, aku akan mengetuk pintu rumah itu."

Aku menarik lengan Angga dan dia meringis. "Apa? Apa kau sudah gila? Kau ingin bunuh diri atau apa?!" kataku membentaknya.

Angga memutar matanya dan menarik lengannya dari genggamanku. "Aku berani taruhan yaa.. Pemilik rumah itu bisa saja bisu atau punya penyakit lain yang membuatnya jarang keluar rumah. Bisa jadi ia sebenarnya orang yang baik, kan?"

Perlahan Angga berjalan memasuki halaman rumah.

Itulah sifat Angga, ia anak yang berani namun sangat keras kepala dan tidak mau menerima pendapat orang.

"Chris.. aku takut kalau terjadi apa-apa. Bisa kita sembunyi saja?" tanya Anggi dengan nada khawatir. Sama khawatirnya denganku. "Bagaimana kalau dibelakang semak-semak?"

Benar apa yang dikatakan Anggi. Bisa jadi setelah Angga kesana, pemilik rumah itu mengamuk tiba-tiba. Siapa yang tahu? Maka dari itu, aku segera bangkit dari kursi lalu menempatkan posisi dibelakang semak-semak. Anggi mengikutiku dan ia berada disampingku.

Kami masih bisa melihat hal apa saja yang dilakukan Angga darisini. "Gi, kamu tidak takut kakakmu kenapa-kenapa?" tanyaku. "Kalau aja dia--"

"Ya, iyalah aku takut!" Anggi memotong kalimatku dan langsung memeluk erat tanganku. "Semoga saja orang itu baik yaa.."

"Semoga saja."

Angga mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk pintu lagi, namun kali ini lebih keras. Masih tidak ada jawaban. Kuyakini, setelah tetangga-tetangga melihat laki-laki bernama Angga mengetuk pintu misterius itu, mata mereka takkan terlepas dari memandangi Angga. Karena orang tua yang sudah memakan asam garam saja tidak berani untuk mengetuknya. Dan ini... masih 16 tahun.

Setelah ketukan ketiga yang lebih keras dari sebelumnya, krek. Pintu itu terdorong kebelakang--terbuka. Sontak mata kami--aku dan Anggi--langsung membulat.

Disana terlihat seorang perempuan berambut keriting sebahu berwarna coklat gelap, wajah yang penuh jerawat, bibir tipis, alis yang tebal, gigi yang tidak rata, berpakaian panjang warna biru tua serta tangannya yang memakai sarung tangan.

Angga seperti membicarakan sesuatu (yang sama sekali tidak bisa kudengar) pada orang itu. Angga menengok kebelakang seperti mencari sesuatu. Apa ia mencari kami? Ia berpaling lagi menghadap perempuan itu, dan tiba-tiba ia masuk kedalam rumahnya.

"Chris! Christy!" Anggi tiba-tiba menjerit ketakutan disampingku. "Kenapa ia masuk? Apa yang ia lakukan?!"

"Ssstt... Tenanglah. Kita tunggu," jawabku. "Kurasa tidak ada apa-apa."

***

Lima belas menit kemudian. Seluruh tubuhku bergetar ketakutan. Angga belum juga keluar...

Tiga puluh menit kemudian. Angga tidak menampakkan kehadirannya.

Empat puluh menit kemudian. Angga tidak keluar. Ia masih disana. Terkurung dalam ketidakpastian untuk mempertahankan nyawa.

Hingga tujuh puluh menit kemudian..

Perkiraanku salah. Angga tidak akan kembali.

***

Hari ini selepas pulang sekolah aku dan Anggi kembali melewati rumah itu. Karena jalan ini yang satu-satunya dengan dekat rumah, maka jalan inilah yang harus kami lewati. Orang tua Angga dan Anggi sudah melaporkan kepada polisi berita kehilangan Angga. Ibuku juga sudah berpesan untuk langsung pulang dan jangan bermain-main dengan rumah yang memiliki pintu berwarna biru itu.

"Christy.." tiba-tiba Anggi mengeluarkan suaranya. "Aku ingin membalas dendam kematian kakakku! Dan kurasa aku harus masuk kedalam rumah itu! Seenaknya dia membunuh kakakku! Mau tidak mau aku harus membalas perbuatannya!"

"Apa?! Apa kau bilang? Tidak, Anggi. Kau tidak bisa dan tidak boleh membalas dendam. Kau mau kau yang akan menjadi mangsa berikutnya? Ini sama saja kau ingin bunuh diri, 'kan?" tanyaku memegang tangan Anggi kuat-kuat. "Nanti ibuku dan orang tuamu bisa marah jika kau terjadi apa-apa."

Wajah Anggi mengeluarkan rasa penuh dendam. "Maaf, Christy. Bilang pada orang tuamu dan orang tuaku bahwa ini bukan salahmu, ini keinginanku. Bilang sejujurnya. Maafkan aku."

Tiba-tiba Anggi menarik tangannya dari genggamanku dan itu membuatku sangat terkejut. Ia membawa kakinya memasuki halaman rumah misterius itu. Aku menelan liurku dan langsung berlari kearah semak-semak, tempat dimana kami kemarin bersembunyi.

Anggi mengetuk pintu itu berulang kali. Setelah mungkin 3 kali, perlahan pintu biru terbuka. Orang yang membuka pintunya, masih sama yang ditemui oleh Angga kemarin. Orang itu berbicara kepada Anggi sesaat, lalu menyuruhnya masuk. Benar saja, Anggi menerima suruhan orang itu.

Semua anggota tubuhku gemetar tak terkira. Aku harus menyelamatkan Anggi sekarang. Belum terlambat. Mungkin mereka masih berbicara tentang banyak hal. Aku harus menyelamatkan gadis kecil yang belum berdosa itu sekarang. Maka dari itu, dengan nyawa yang hampir menciut, aku melangkah masuk ke halaman rumahnya.

Aku menaiki terasnya lalu mengetuk pintu biru itu beberapa kali. Lagi, aku mengetuknya. Hingga ketukan keempat, muncullah bunyi yang menandakan bahwa pintu itu sudah terbuka. Dan perempuan berambut keriting sebahu berwarna coklat gelap itu, menampakkan wajahnya tepat didepan wajahku.

"Ada apa, Nak Christy?"

Dia mengetahui namaku?! Rasanya aku ingin mati sekarang. Bibirku bergetar tak dapat menjawab. "Ss-saya i-ingin mmen-menemui teman saya. Anggi."

"Anggi saja? Tidak ingin bertemu dengan Angga?"

"Ap-apa m-maksudnya i-ingin bertemu dengan Angga?"

Wanita itu tertawa. "Silahkan masuk."

"Tunggu," kataku. "Apa maksudmu Angga masih hidup?"

Ia tersenyum menyeringai. "Mau bertemu tidak? Kalau tidak, silahkan pulang."

Aku menelan liurku lagi. Lautan liur ada didalam perutku. Aku tidak mau pulang. Akupun langsung melepaskan sepatuku dan melangkah masuk kedalamnya. Rumah yang tidak besar dan tidak juga kecil. Sebuah rumah kayu yang berantakan dan berbau obat-obatan. Barang-barang nya tidak terletak sesuai tempatnya. Jeritan kayu terdengar setiap kali aku menginjakkan kaki dilantai.

"Hai, Christy.. Apa kabar?" tiba-tiba Angga muncul entah darimana. Angga masih hidup. Kuulangi, Angga masih hidup. Dengan keadaan yang masih sempurna--tidak terjadi apa-apa.

"Aa-ang-angga?" aku hendak pingsan.

Dari belakang, terlihat Anggi yang berjalan kearahku dengan membawa sebuah pisau di tangan. Anggi tersenyum lebar. "Kuakui perkiraan ku benar. Kau datang juga kesini."

"Aap-apa maksudnya semua ini?" kataku sambil melangkah kebelakang. "Tunggu, kau mau apa dengan pisau itu?!"

"Sebenarnya kematian diriku hanya tipu daya belaka untuk menipumu," kata Angga menatapku. "Semua berita tentang kengerian rumah ini, hanya tipuan. Dan wanita berambut coklat keriting ini, keluarga kami, Christy."

"Aku masuk kesini, untuk mengundangmu agar kau juga ikut-ikutan masuk," sahut Anggi. "Karena kami ingin membunuhmu."

Sebelum aku sempat menjawab, tangan Anggi yang memegang pisau, sudah melayangkan pisau itu kearahku. Dan seketika benda itu mengenai wajahku, yang membuat wajahku bercucuran warna merah, yang disebut darah. Lalu dari belakangku, wanita yang disebutkan Angga sebagai keluarganya, mencekik leherku hingga aku benar-benar kehabisan napas.

Dua orang sahabat yang kukenal baik, telah mengakhiri kehidupanku.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Wisthle (creepypasta)

The Girl With a Red Ribbon in Her Hair