My Birthday Party

Malam yang dingin ini, sahabat sekaligus tetanggaku--Scarlett, merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Pesta itu sangat mewah dan meriah karena orang tuanya bisa digolongkan orang-orang kelas atas. Tamu undangannya pun rata-rata pemilik perusahaan. Kue ulang tahunnya menjulang tingi bagai menara. Kado-kado nya pun rata-rata berukuran besar dan berwarna-warni. Jika aku bukan sahabat Scarlett, kurasa aku tidak akan diundang. Kuharap aku bisa merayakan pesta seperti dirinya.

Setelah jam 11 malam dan aku pamit untuk pulang, aku bertemu dengan dua orang teman Scarlett sekaligus teman satu angkatanku, di halaman depan rumah Scarlett yang sepi. Cahaya bulan menyinari wajah bening kedua anak itu. Itu adalah Renna dan Rachel. Renna dan Rachel anak kembar dari orang tua yang memiliki hotel bintang lima terkenal di pusat kota.

Karena mereka anak orang kaya (lebih dari kaya), maka, mereka sering sekali membully anak-anak nerd dan kurang mampu di sekolah. Termasuk diriku. Si kembar itu sudah membullyku selama enam bulan. Aku benci mereka. Mereka mengatai-ngataiku miskin dan curut sialan. Jika Scarlett bukan sahabatku, aku tidak ingin datang kesini, karena aku tidak ingin bertemu dengan mereka. Sayangnya walaupun kami bersahabat, Scarlett tidak mengetahui aku dibully oleh Renna dan Rachel.

"Hei," sapa Renna terlebih dahulu dengan angkuhnya. Ia mengenakan gaun pesta yang mewah. Jauh berbeda dengan gaun pesta yang kupakai.

Aku hanya diam sambil menunduk tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Rachel menatapku dengan senyum sumringah. "Oh ya, Ren, pesta Scarlett keren banget ya." kata Rachel pada Renna lalu menatapku lagi. "Curut sialan ini, kan sebentar lagi ulang tahun juga. Apa mungkin ia juga merayakan pesta seperti ini?"

Aku hanya diam tak berkutik. Aku juga baru teringat bahwa aku juga akan berulang tahun ke tujuh belas. Empat hari lagi. 13 April. Heh. Mengapa mereka ingat dengan ulang tahunku?

"Ia tidak mungkin merayakan seperti ini juga, Rachel." sambung Renna diikuti dengan tawanya. "Orang tuanya saja tidak mengurusnya. Apalagi datang jauh-jauh dari Virginia hanya demi ulang tahun."

Ingin sekali aku mendaratkan telapak tangan di wajah mereka. Namun jika aku benar-benar melakukan hal itu pada mereka, mungkin dalam sedetik kemudian polisi aku berhamburan ke rumahku.

"Ya kurasa saat ulang tahunnya nanti curut sialan ini akan jadi orang paling kesepian di seluruh dunia." sambung Rachel lagi. Lalu, diikuti dengan tawa keras mereka berdua.

"AKU AKAN MEMBUKTIKAN PERKATAAN KALIAN ITU SALAH!" teriakku yang terdengar seperti seseorang yang sedang tercekik. Aku tidak bisa lagi menahan emosiku. Aku hampir tidak bisa lagi menahan air mata. "Aku akan merayakan ulang tahunku walaupun tanpa orang tuaku!"

Si kembar itu membulatkan matanya tanda terkejut. "Waw?" kata Rachel. "Aku tidak salah dengar, kan?"

"Ya! Kau tidak salah dengar, Rachel." sahutku.

"Baiklah.." sambung Renna melipat tangan di depan dada. "Tapi kau tidak bisa merayakan semeriah punya Scarlett kan?"

"Aku bisa!" kataku menatapanya tajam. "Aku akan merayakan semeriah punya Scarlett dan tamu undangan banyak yang akan datang."

Rachel dan Renna terus tertawa. Oh astaga apa lagi yang harus kukatakan pada mereka?

Renna maju dua langkah kepadaku. Ia meletakkan tangannya di pipi sebelah kananku, lalu membelainya dengan lembut. "Oke, Teresa Claudya. Siapkan pestamu dalam waktu empat hari."

Aku gelisah di atas tempat tidurku pagi ini. Aku benar-benar menyesal sekarang karena malam tadi aku telah mengatakan aku bisa merayakan pesta ulang tahun. Aku harus melakukan ini secara rahasia tanpa ketahuan orang tuaku. Tanpa ketahuan sepercik pun. Karena jika mereka tahu, mereka pasti akan marah. Marah besar. Rasanya sekarang aku ingin bersembunyi di inti bumi yang paling dalam. Orang yang hidup sendiri di rumah kecil dan tidak memiliki banyak uang bisa merayakan ulang tahun sama seperti anak orang kelas atas? Itu gila.

Aku berjalan bolak balik di kamarku memikirkan bagaimana caranya mewujudkan itu. Di satu sisi aku tidak ingin harga diriku turun, namun disisi lain, aku tidak punya uang. Selain tidak punya uang, aku juga tidak tahu siapa saja orang-orang yang akan kuundang untuk datang ke pesta. Karena aku anti sosial dan tidak memiliki teman selain Scarlett. Sebenenarnya aku juga tidak tahu mengapa Scarlett mau berteman denganku.

"ARGH! KAU GILA TERESA!" kataku menjambak rambutku dan memaki diriku sendiri.

Apa aku harus memakai uang tabungan untuk membayar sekolahku demi pesta ulang tahun? Aku dikenal orang tuaku sebagai anak yang tidak suka membuang-buang uang demi hal tidak penting. Dan apa yang harus kukatakan pada mereka? Oh Ya Tuhan. Seandainya aku bisa membuat Renna dan Rachel amnesia, aku akan melakukannya detik ini juga. Dimana harga diriku jika aku minta maaf kepada si kembar itu? Pilihannya ada dua, aku meminta maaf kepada Renna dan Rachel atau mengambil uang tabungan.

Baik, Teresa. Kurasa kau harus mengikuti godaan iblis yang sekarang sedang menyuruhmu untuk memilih pilihan kedua.

Ini pilihan gila, namun aku harus melakukaannya demi harga diriku. Aku langsung mengganti celana pendek dengan celana jeans, mengambil jaket dan tas, lalu berlari keluar rumah. Dengan memasukkan kedua tangan di saku jaket, aku berjalan ke halte bis untuk menunggu bis. Bis yang mengantarku menuju Bank.

Dengan cepat, aku mendorong pintu kaca sebuah toko kue. Toko kue langganan Ibuku sejak dulu. Aku sudah mengambil uang sejumlah 250 dollar di Bank sepuluh menit yang lalu. Kuharap uang ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kue, undangan, properti pesta dan lain-lain.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelayan kepadaku yang masih memilih-milih kue di daftar. Kue yang kuinginkan harganya tidak sesuai ekspektasi.

"Hmm, jadi.. gimana ya, mba, saya bingung mau cari kue yang mana," kataku terkekeh.

"Untuk kue ulang tahun kami menyediakan kisaran dari ukuran kue dan harganya. Sesuai untuk ulang tahun yang keberapa," jawab si pelayan itu. "Paling besar harganya sekitar 350 an atau lebih."

Tenggorokkan ku tercekat seketika. "Ngh, bukan! Maksud saya, saya tidak ingin kue berukuran besar dan harga yang sangat tinggi seperti itu." kataku yang langsung mengingat jumlah uangku hanya 250. "Kisaran 90 - 150 an dollar, ada?"

"Oh, ada. Tapi ukurannya lumayan kecil, kue ulang tahun untuk anak 4 - 7 tahun, bagaimana?"

"What? Sekecil ap--" tiba-tiba, aku merasakan seseorang menepuk pundak sebelah kananku.

Dalam hitungan detik, aku langsung berpaling. Mataku langsung mendapati seorang laki-laki berpakaian serba hitam mulai atas sampai ujung kaki, dan matanya sedikit tertutupi oleh topi. Topi hitam yang bermerek--dengan lambangnya adalah tanda ceklis.

Aku mengernyit bingung pada orang itu. "Kau sia--"

"Namamu Teresa Claudya, bukan?"

Aku langsung melebarkan mata. "Apa? Hei, kau siapa?! Pengun--"

Orang itu menaikkan topinya, setelah itu, baru aku bisa melihat keseluruhan wajahnya. Lumayan tampan untuk perempuan pengincar laki-laki ideal sepertiku. Ia tersenyum kecil, dan betapa terkejutnya aku saat melihat lesung pipit yang muncul dari pipinya.

"Bisa kita keluar sebentar?" ia bersuara. Aku memiringkan kepala ke kanan dan mulutku terbuka memandang laki-laki ini. Orang gila mana yang mau menguntit gadis anti sosial sepertiku ini?

"Hei. Bisa kita keluar sebentar?!" ulangnya lagi.

Aku langsung menggelengkan kepalaku dan mengerjapkan mata berulang kali. "Oh astaga. Oke, oke."

Beriringan dengan perkataanku tadi, ia langsung berjalan lebih dahulu keluar. Diikuti olehku. Lalu, kami berhenti tidak jauh dengan toko kue tadi. Orang itu menyuruhku duduk di kursi yang hanya cukup untuk dua orang, yang berada di depan toko bahan bangunan. Ia menjulurkan tangannya padaku dan aku menerimanya dengan berhati-hati.

"Sebelumnya aku minta maaf karena menganggumu tadi," katanya. "Namaku Dylan."

Aku mengangguk. "Teresa."

"Ya, aku tahu. Dan aku langsung ke topik utamanya saja," katanya. "Kau sedang ingin menyiapkan pesta ulang tahun, kan?"

"WH-WHAT?! HEI! KAU PENGUNTIT, YA?" secara refleks, aku langsung bangkit berdiri. "Darimana kau tahu?!"

"Tenang, Teresa. Aku bukan penguntit, orang gila, pembunuh, peramal atau siapapun yang kau bayangkan!" ia memutar matanya. "Aku tidak akan menjelaskan jika kau masih berdiri disana. Aku akan menjelaskan ini semua dan kau harus percaya!"

Dengan tubuh yang bergetar aku mendaratkan tubuh di kursi itu. Aku tidak ingin duduk terlalu dekat dengannya. "Cepat katakan darimana kau tahu diriku dan apa maumu!"

"Aku tahu dirimu itu darimana, tidak penting. Zaman sudah modern dan semua informasi bisa didapat darimana saja!" jawabnya ketus. "Kumohon kau jangan menyela perkataanku apapun yang aku katakan, Teresa. Disini aku hanya ingin membantumu. Aku ingin membantu mengurus pesta ulang tahunmu itu. Mulai dari gaunmu, undangan, orang yang hadir, kue, properti dan lain-lain."

"Hah?" otakku masih belum bisa mencerna perkataannya. Sepatah katapun. "Membantu bagaimana? Kau ini semacam party planner yang mempromosikan usahamu pada gadis sialan sepertiku? Lalu, bagaimana dengan harganya?"

"Bukan. Bukan party planner. Baik ini tujuan utamaku," katanya menghela napas. "Aku akan membayar semua kebutuhan pesta ulang tahunmu itu. Semuanya. Sebesar dan semewah apapun pesta yang kau inginkan, aku akan yang akan menanggungnya."

Kau tahu, jantungku langsung berhenti berdetak selama setengah detik. Dan itu membuatku ingin pingsan di tempat sekarang juga. Lambungku serasa naik ke tenggorokkan. Rahang dan mataku secara refleks langsung terbuka dengan lebar. Aku mencubit tangan kananku sendiri karena aku merasa ini hanyalah mimpi.

Mungkin saja kan saat aku berada di toko kue tadi, aku kelelahan, tertidur, dan aku bermimpi disana."Aw!" aku berteriak karena kesakitan akibat ulahku sendiri. Oh Tuhan. Serius. Ini bukan mimpi. Atau telingaku yang sedang bicara sendiri mengatakan bahwa aku membiayai pesta ulang tahunku?

Orang yang mengaku memiliki nama Dylan itu memutar matanya akibat ulahku. "Kau tidak bermimpi, Teresa. Kau sama sekali tidak bermimpi. Kau sadar." katanya, tahu apa yang ada dipikiranku. "Aku serius. Kau harus mempercayaiku. Walaupun kita baru kenal--sebenarnya kau yang baru kenal kepadaku, aku tetap jujur. Kuulangi, semewah dan seberapa besar pesta yang kau inginkan, semua biayanya akan kutanggung. Jadi, selama 4 hari sebelum pestamu ini, kau hanya perlu menyebutkan apa keperluanmu."

Aku menelah ludahku dalam-dalam. Rasanya perutku menjadi lautan ludah sekarang. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tidak percaya. "Tunggu, Dylan. Bukannya aku tidak mempercayai perkataanmu, tapi... kau siapa aku? Dan kenapa kau mau membantuku? Apa kau adalah seseorang dari masa depan yang membantuku di masa sekarang agar menjadi lebih baik di masa depan? Tolong ceritakan padaku bagaimana caranya pergi dari masa depan? Apa seperti di film-film itu?"

Lagi-lagi Dylan memutar matanya. "Oh ayolah, Teresa. Kumohon kau tidak usah banyak mengajukan pertanyaan. Ya. Aku tahu aku bukan siapa-siapa dirimu atau siapa-siapa ayah dan ibumu. Dan yang pasti aku bukan dari masa depan. Aku manusia normal.  Aku hanya ingin membantumu,"

Aku hanya terdiam tak berkutik.

"Kau sangat lambat, Teresa. Baiklah kalau kau tidak mau," katanya tersenyum paksa. Ia membalikkan badannya. "Banyak masih orang yang ingin ku tolong."

"T-tunggu, Dylan. Baik, baik. Aku sangat senang kau mau membantuku." jawabku memandangnya lagi. "Tapi, apakah tidak ada syarat atau ketentuan sama sekali?! Kau tahu, biasanya selalu ada syarat dan ketentuan."

Dylan tersenyum lebar. "Oh ya, aku lupa tentang hal itu dan terima kasih sudah bertanya. Aku akan memberimu tiga syarat. Jika tidak dilakukan ketiganya, maka aku gagal untuk membantumu. Mengerti?"

Aku mengangguk mantap. "Baik. Cepat katakan."

"Pertama. Karena aku yang mengurus semua orang yang datang ke pesta ulang tahunmu, maka, kau tidak boleh protes siapa saja yang datang kesana nanti. Dan kau tidak boleh berbicara sepatah katapun kepada mereka."

Aku mengerutkan dahiku. Tidak bileh bicara kepada mereka? Memangnya kenapa? "L-lalu apa syarat yang kedua?"

"Kau tidak boleh mengundang siapa pun orang yang kau kenal. Siapapun. Kecuali Renna dan Rachel. Dan kau tidak boleh memgundang Scarlett Markinson untuk hadir."

Mulutku terbuka lebar lagi. D-dariman dia mengetahui gadis bernama Scarlett Markinson itu? Darimana juga ia tahu si kembar gila Renna dan Rachel? Dylan ini pasti berbohong saat ia mengatakan bahwa ia bukan peramal. Namun, apakah aneh jika aku tidak mengundangnya? Dia yang sudah mengundangku, namun aku tidak mengundangnya? Bagaimana kalau nantinya gadis bermata biru itu marah besar denganku?

"Mengerti, Teresa?" Dylan membuyarkan lamunanku.

"Darimana kau tahu Scarlett, Renna dan Rachel?"

"Oh, Ya Tuhan. Berhentilah bertanya yang tidak penting. Cepat kau katakan mengerti atau tidak!"

"Hmm, begini. B-bagaimana kalau Scarlett marah denganku gara-gara aku tidak mengundangnya. Dengan marahnya Scarlett, otomatis mungkin ia tidak mau lagi berteman denganku. Siapa lagi temanku selain dia? Tidak ada lagi yang bisa melindungiku."

Dylan memutar matanya. "Tujuan kau membuat pesta ulang tahun hanya karena kau tidak ingin dibully lagi oleh Renna dan Rachel,kan?" tanyanya. "Bukan karena kau ingin menunjukkan pada Scarlett, kan?"

Betul juga. Oh biarlah dengan ekspresi yang ditunjukkan Scarlett setelah mengetahui aku mengadakan pesta tanpa mengundangnya.

"Baik." aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya lewat mulut. "Lalu, apa syarat yang ketiga?"

Pesta. Satu kata yang sekarang berlangsung meriah di rumahku. Kau tahu, ini benar-benar meriah dan mewah. Jauh lebih indah dari ekspektasiku. Dekorasi yang gemerlap, balon yang bergantungan, kue ulang tahun yang besarnya 80 sentimeter berwarna merah muda--tujuh belas lilin yang ditata diatasnya, dan gaun merah muda yang menghiasi tubuhku. Gaun yang sederhana bagi kalangan kelas atas, namun begitu indah dan mewah bagi kalanganku.

Aku memutuskan untuk memilih tema merah muda. Aku tidak habis pikir darimana Dylan mendapat dana untuk merayakan pesta gadis gila sepertiku. Aku juga tidak habis pikir bagaimana ia mengubah rumahku dalam waktu hanya 4 hari. Seakan-seakan pesta ulang tahun ini disiapkan selama 10 hari. Pesta yang berlangsung mulai jam 8 sampai 11 malam ini, penuh dengan beratus-ratus jiwa. Beratus-ratus manusia yang tidak kukenal sama sekali. Dan yang pastinya mereka tidak mengenalku juga. Seperti yang dikatakan Dylan beberapa hari yang lalu, orang yang kukenal yang boleh datang kesini hanya si kembar Rachel dan Renna. Anggap saja tamu disini adalah tamu bayaran yang dibayar Dylan.

Sekarang mereka--Rachel dan Renna--berada di ruang makan, sedang mencicipi beberapa hidanganku dengan wajah tidak ikhlas. Aku berjalan santai kearah mereka, mencoba untuk membuktikan bahwa perkataanku benar. Orang yang membantuku untuk membuktikan bahwa perkataanku benar kepada Renna dan Rachel, sedang duduk santai di teras belakang rumah--memandang bintang, mungkin.

"Hai," sapaku pada Rachel dan Renna saat sudah di dekat mereka. Aku tersenyum--tidak terlalu lebar. Dua gadis itu langsung melayangkan tatapan jengkelnya padaku.

"Ada apa?" Renna menjawab seperti biasa, dengan jengkel.

"Hmm, tidak. Tidak apa-apa," kataku terus tersenyum. "Bagaimana dengan makanannya?"

"Lumayan. Namun, bukan berarti aku mengatakan ini enak," jawabnya. Heh. Dasar orang-orang yang tidak mau kalah. Mengapa tidak mau bilang saja bahwa ini enak?

"Ngomong-ngomong, dimana orang tuamu, Teresa?" tanya Rachel menaikkan sebelah alisnya. "Kami berdua sama sekali belum melihat keberadaan mereka disini."

Jleb. Rasanya jantungku berhenti detik ini juga. Apa ini? Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan?! Pertanyaan seperti ini tidak ada di skenario. "Hmm, ng, m-mereka sangat sibuk disana. Mereka hanya bisa mengirimkan uang dan mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Namun, mereka berharap benar-benar bisa datang." kuharap si kembar ini tidak mendengar ada nada gugup dalam suaraku.

"Sesibuk itukah mereka?" Renna bertanya lagi. "Atau mereka--"

"Ya. Mereka sangat sibuk," kataku memutus ucapan Renna sebelum ia berkata yang tidak-tidak lagi. "Mereka akan datang mungkin dua hari lagi. Sesibuk apapun mereka, mereka tetap akan datang kesini. Dan aku bisa memaklumi itu."

Satu jam setengah kemudian, perlahan-lahan tamu-tamu yang tidak ada satupun yang kukenal ini, keluar dari area rumahku. Termasuk dua gadis kembar yang gila dan menyebalkan luar biasa ini. Mereka pulang dengan tak henti-hentinya menatap jengkel ke arahku. Kue-kue, makanan-makanan, dan minuman pun tidak ada yang banyak terbuang. Kini, manusia yang tersisa hanyalah Dylan. Ia tersenyum ke arahku dengan tulus.

"Selamat, Teresa Claudya. Kau berhasil membuat mereka percaya bahwa kau bisa mengadakan sebuah pesta mewah." katanya.

Aku tak tahan lagi ingin memeluk Dylan sebagai tanda betapa senangnya diriku aku karenanya. Jadi, aku langsung memeluk erat dirinya. Mungkin, ia lumayan terkejut akibat tingkahku. "Terima kasih banyak, Dylan. Aku tidak tahu lagi jika kau tidak ke toko roti hari itu untuk menemuiku. Aku tidak tahu lagi jika waktu itu aku kabur karena takut denganmu. Terima kasih."

"Sama-sama. Senang bisa membantu," jawabnya bersamaan dengan aku yang melepas pelukanku. "Jangan lupakan syarat yang ketiga, Teresa."

Aku terdiam. Senyum yang mengembang di wajahku langsung sirna bagai diterjang ombak. Aku baru saja mengingat syarat yang ketiga. Mau tidak mau aku harus melakukannya setelah ini. Dylan mengatakan bahwa syarat ketiga atau terakhir ini, harus dilakukan sesudah pesta berlangsung. "Hmm, b-baik. Ak-aku tidak akan lupa."

Lagi-lagi laki-laki itu tersenyum. Ia menepuk pundakku dan keluar dari rumahku. Saat aku menatap punggungnya yang lama kelamaan menjauh, aku merasakan mataku basah. Lupakan soal kesedihan. Yang aku harus lakukan hanya satu sekarang. Melaksanakan syarat yang ketiga. Setelah itu aku damai.

Aku pergi ke dapur. Kembali lagi ke ruang tamu dengan membawa satu liter botol bensin. Bensin yang dibeli oleh Dylan untukku. Oh dia baik sekali, kan? Perlahan-lahan, aku menyiram bensin itu ke lantai rumahku. Aku berjalan ke salah satu meja kayu di rumahku, dimana di atas meja tersebut masih ada sebatang lilin yang menyala.

Aku menjatuhkan lilin yang menyala tersebut ke atas lantai yang sudah disiram bensin. Syaratnya adalah, aku tidak boleh pergi dari rumahku yang sekarang kusiram dengan bensin ini.

√ The End √

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Wisthle (creepypasta)

Pria Unik Yang Berjerawat

The Secret Behind The Door