The Girl With a Red Ribbon in Her Hair
Akhir-akhir ini aku mengalami yang namanya depresi. Bagaimana tidak? Empat hari lalu, ayahku meninggal karena serangan jantung yang dideritanya selama 6 tahun. Dua hari lalu, mantan pacarku ketahuan berselingkuh, maka dari itu aku harus memutus hubungan dengannya. Uang tabunganku terkuras habis karena harus membayar hutang adikku yang jumlahnya jutaan dollar, itupun belum lunas. Satu lagi, atasanku belum membayar upah kerjaku bulan ini, namun dia terus memaksaku untuk bekerja larut malam. Memang enak ya menjadi atasan.
Walaupun kutahu, setiap manusia pasti akan diberi yang namanya cobaan. Diberi cobaan oleh Tuhannya. Entah kenapa aku sangat tidak sanggup menghadapi keadaan seperti ini secara bersamaan. Kepalaku sangat sakit, dan aku harus mencari cara agar aku bisa hidup kembali dengan tenang. Aku ingin semua bebanku bisa hilang dengan sekali tiupan angin.
****
Sore di hari Minggu ini, aku memutuskan untuk pergi ke taman kota yang biasanya kukunjungi. Sekadar melihat-lihat pemandangan sore yang ramai dikelilingi oleh orang-orang. Orang-orang yang bercengkrama dan tersenyum bahagia. Terkadang, jika aku merasa sedikit lapar, aku akan membeli es krim dan duduk disalah satu kursi. Kali ini, pemandangan sore benar-benar berbeda.
Dikursi taman dimana biasanya aku duduki, ada seorang perempuan yang sangat cantik--bermata biru, berhidung mancung, berkulit kuning langsat, pipi yang tirus, alis panjang yang tebal, dan bibir mungil berwarna merah muda. Ia memakai gaun putih keabu-abuan, yang panjangnya beberapa senti dibawah lutut. Yang menarik perhatianku adalah, perempuan itu sangat cantik karena rambut pirangnya dibentuk hair bun dan diatasnya ada sebuah pita bewarna merah.
Dari sini--sekitar sepuluh meter jauhnya dari tempat perempuan itu berada, aku melihatnya sesekali memejamkan mata. Helai-helai rambutnya ditiup oleh angin sore yang berhembus. Sekarang aku memberanikan diriku untuk menghampiri perempuan itu, sekadar untuk berkenalan.
Aku sudah berada didekatnya. Namun ia masih belum menyadari kehadiranku. Ia hanya memandang orang-orang sekitar. Maka dari itu aku memutuskan untuk duduk disampingnya.
"Hei," sapaku padanya. Dan ia langsung berpaling padaku. Ekspresi nya sedikit terkejut.
"Hai," sapanya balik dengan senyuman. Kuakui, ia benar-benar cantik karena kali ini ada sebuah lesung pipit dipipi kanannya.
"Maaf aku sedikit lancang," kataku. "Tapi, bolehkah aku tahu siapa namamu?"
"Railey." jawabnya. "Jika keberatan, kau bisa memanggilku dengan Rey saja."
"Uhm, tidak. Nama yang bagus," kataku sambil mengulurkan tangan kearahnya. "Namaku, James."
Ia menerima uluran tanganku, lalu tersenyum lebar. "Hai, James."
"Ngomong-ngomong, sedang apa kau disini?" tanyaku setelah kami melepaskan tangan masing-masing dari genggaman.
"Hanya untuk berisitirahat menenangkan diri. Beristirahat dari beban pekerjaan. Kau pasti tahu," katanya. Aku tahu. Aku sangat mengerti. "Bagaimana denganmu, James?"
"Hmm, ya! Sama denganmu. Bebanku lebih berat dari sekadar pekerjaan."
****
Esok sorenya, karena atasanku tidak menyuruhku untuk lembur, maka aku memutuskan untuk ke taman lagi. Kali saja aku bisa berbincang-bincang dengan gadis berpita merah itu lagi. Betul saja apa kataku, aku menemuinya sedang duduk santai dikursi kemarin. Masih menggunakan pita merah diatas kepalanya. Namun kali ini yang berbeda dan membuatku sangat penasaran adalah, disampingnya ada seorang anak laki-laki. Siapa anak laki-laki itu?
Aku berjalan pelan menghampiri gadis itu. "Hei, Railey!"
Railey beserta anak kecil berambut keriting yang berada disampingnya, berpaling kearahku. "Hei, James. Kita bertemu lagi,"
"Siapa anak laki-laki ini?" kataku seraya ikut duduk bersama disampingnya. Aku tersenyum pada anak itu.
"Oh ini Tommy. Adik kandungku. Umurnya baru 6 tahun," jawabnya sambil mengacak rambut keriting si anak. Wah dia punya adik yang masih kecil ternyata. Sedangkan aku? Mempunyai adik yang sudah punya hutang jutaan.
"Kau tahu, aku benar-benar lelah dengan pekerjaanku," kata Railey membuka suara. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi taman. "Jika bukan karena Tommy dan nenekku, aku tidak terlalu bekerja keras seperti ini."
"Memangnya berapa jam kau bekerja? Dan apa pekerjaanmu?" Oh. Aku tahu ini sedikit lancang ditanyakan kepada orang yang baru kenal. Tapi, jika ia tidak keberatan mengapa tidak?
"Aku memiliki dua pekerjaan. Totalnya 12 jam. Pertama mengajar sebagai guru TK selama empat jam lalu kantoran selama delapan jam. Jam kerja kantor dibagi dua waktu, siang dan malam,"
"Bagaimana dengan orang tuamu? Tidak tinggal bersama?" tanyaku lagi.
"Kedua orang tuaku meninggal saat Tommy berumur 3 tahun, karena tsunami besar di negara asalku. Nenekku yang masih hidup, mau tidak mau harus mengikutiku dan adikku untuk pindah kesini. Dan disini kami hanya menyewa," katanya. "Sekarang nenekku sakit-sakitan di rumah. Jadi, harus lebih banyak uang yang harus kudapatkan."
Gadis yang mandiri dan bertanggung jawab. pikirku.
Disaat aku ingin menjawab, kudengar dering ponselku. Akupun permisi kepadanya untuk mengangkat telpon, lalu berjalan menjauh.
Setelah melihat siapa yang menelpon, ternyata, atasanku. "Halo?"
"Halo, James? Maafkan aku, bisakah kau ke kantor sekarang? Klien kita besok akan datang. Dan kuharap kau bisa menyelesaikan pekerjaanmmu secepatnya."
Dasar bajingan. "Hmm, ta-tapi, Pak. Saya baru saja pulang dan.."
"Kumohon, James."
Aku memutar mata. "Baik, Pak."
"UGH!" kataku mengacak-ngacak rambut. Rasanya aku ingin berteriak. Setelah menghela napas, aku berjalan pulang menuju rumah untuk menyalakan mobil kembali. Namun, baru saja aku ingin melangkah, seseorang menepuk pundakku. Akupun menoleh.
"Hei, James." kata seorang pria muda--seumuran denganku. Orang ini sudah mengetahui namaku!
"Ka-kau siapa?"
"Aku Edgar." jawabnya dengan senyuman lalu mengulurkan tangan padaku.
Aku menerimanya. "Aku James."
"Ya aku tahu," kata Edgar. "Kau sedang kesusahan atau depresi, kan? Kau ingin hidupmu kembali tenang dan memiliki uang banyak, kan?"
"Tt-tunggu! Kau ini sebenarnya siapa? Dan kenapa sudah tahu apa yang kuinginkan? Peramal?" teriakku.
"Tenanglah. Aku bukan peramal. Kita ini hidup di zaman modern, James. Semua informasi dengan mudahnya didapatkan," katanya. "Tapi, benar kan kau sedang kesusahan? Karena aku ingin membantumu."
"Hmmm, yaa.. benar. Aku memang sangat kesusahan. Ta-tapi, membantu dengan cara seperti apa? Membujuk atasanku?"
"Uh bukan." Edgar menggeleng. "Aku akan membantumu dengan memberimu uang 1 juta dollar setiap bulannya. Asal dengan satu syarat. Bagaimana kau mau?"
GILA! Yang benar saja! 1 juta dollar! Itu gajiku selama beberapa bulan! "K-kau serius? Tidak bercanda, kan?! Tentu saja aku mau."
"Aku sangat serius kali ini, James. Karena menurutku kau orang yang tepat. Begini syaratnya," ia mendekat denganku. Lalu memegang pundakku untuk berpaling. Setelah berpaling, aku langsung melihat Railey bersama adiknya dari kejauhan. Mereka masih disana.
"Kau melihat gadis berpita merah dirambutnya itu, kan?" Jari telunjuk Edgar menunjuk Railey. "Kau mengenalnya, kan?"
"Hmmm, yy-ya. Aku mengenalnya. Ada apa?" tanyaku.
"Nah. Dalam waktu dua hari, aku ingin kau membunuhnya."
Telingaku rasanya meledak mendengar perkataan Edgar. "APA?! Yang benar saja!! Jadi aku ini sebagai pembunuh bayaran?! Kau tidak tahu, apa, Railey itu mempunyai adik dan nenek yang harus ia nafkahi. Jika ia meninggal, siapa yang menghidupi mereka?!"
"Bayaranmu akan kunaikkan menjadi 1 juta 500. Dan kuyakinkan kau tidak akan ketahuan. Jika. Kau. Mau." Edgar mengusap puncak kepalaku. "Jika tidak, tak apa. Masih banyak orang yang ingin mendapat kesempatan ini."
Naik menjadi 1 juta 500!! Oh Tuhan. Aku sangat tergoda dengan nilai seperti itu. Tapi, sebenarnya apa salah Railey?
"Jadi, bagaimana, James?" tanya Edgar lagi. "Kalau tidak, tak apa, aku akan pulang. Maaf sudah membuang-buang waktumu. Selamat sore. Sampai jumpa la--"
"Edgar!" aku memutus ucapannya. "Baik. Ku terima syaratmu."
---
Tiga hari kemudian.
Aku sudah melakukan semua kehendak Edgar. Aku sudah membunuhnya. Semua cara pembunuhan kucari di internet. Aku diberi peralatan oleh Edgar. Alamat rumah Railey kudapatkan saat aku bertanya dengannya. Mayatnya sudah kuserahkan pada Edgar kemarin malam. Berita tentang kematiannya pun sudah mulai bersebaran. Maafkan aku, Railey. Aku terpaksa.
Dan hari ini, jam 10 pagi, aku akan menagih upahku pada Edgar. Aku berkunjung ke rumahnya. Aku mengetuk pintu Edgar beberapa kali. Terus mengetuk hingga aku mendengar decitan pintu yang terbuka. Dan muncullah Edgar dengan pakaian rapi. Ia menatapku lama.
"Hai, Edgar." sapaku. "Kau tahu kan aku kesini untuk apa?"
Entah kenapa, raut wajah Edgar berubah muram dan ketakutan. Sangat muram dan gelisah. Tangannya gemetar hebat saat memegang pundakku. "Ja-jam-james, ada yang ingin kubicarakan.."
Aku mengerutkan kening. Dan perasaanku mulai tidak enak. Jantungku berdegup hebat. "Apa? Ada apa?"
"Begini, ak-akuu minta maaf sebelumnya. Aku sangat minta maaf. In-ini semua salahku. Orang yang kau bunuh, bukan 'Railey' berpita merah yang kumaksud. Kata bosku, ada lagi gadis berpita merah dirambutnya selain dia, tapi namanya bukan 'Railey', melainkan 'Reilie'. Karena kau salah orang, maka upahmu tidak akan kuberi."
Aku ingin membunuh diriku sekarang.[]
Komentar
Posting Komentar