Pria Unik Yang Berjerawat

Aku baru saja keluar dari sekolah ketika rintik-rintik hujan sudah mulai turun. Awan gelap menari-nari diatas manusia-manusia yang berlarian mencari tempat berlindung. Kuangkat tas merah maroon ku ke atas kepala untuk melindungiku dari hujan. Aku mempercepat langkah kakiku menuju halte biasanya. Halte yang setiap hari kugunakan untuk menunggu angkutan umum. Seandainya aku

pulang pada waktu seperti biasanya--seperti teman-temanku, mungkin aku tidak akan kehujanan seperti ini. Maklum, sebagai murid yang tahun depan menghadapi Ujian Kelulusan, tugas sangat menumpuk. Jadi, aku harus bertinggal di sekolah selama beberapa jam. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Setelah sampai di halte, aku langsung beranjak duduk lalu menghembuskan napas pelan.

Sekarang aku hanya bisa berdoa agar angkutan umum lewat di tengah hujan badai. Itu adalah ketidakmungkinan yang aku mungkinkan. Aku mencek ponselku, dan baterainya sisa 11%. Betapa sialnya aku hari ini.

"Hei, boleh aku duduk disini?" tiba-tiba, suara muncul di tengah hujan yang sedang bernyanyi. Seorang laki-laki bertubuh jankung, berambut hitam yang berantakan, memakai kacamata, berjerawat, dan freckles yang penuh di wajahnya, muncul di sampingku entah darimana asalnya.

Aku mengangguk pelan, tanpa mengatakan sepatah katapun. Sesekali mengibaskan air hujan dari rambutku. Aku memperhatikan pria yang muncul tadi melalui sudut mataku. Dia bisa dibilang begitu.... aneh. Maksudku, penampilannya yang begitu ketinggalan jaman. Baju yang dipakainya pun entah dari tahun berapa. Dia jauh untuk bisa dibilang tampan. Wajahnya pun terdiri dari campuran freckles dan jerawat.

"Hei, kau memperhatikanku?" Dia menoleh dan bertanya. Aku ulangi, dia bertanya. Oh Tuhan. Dimana aku meletakkan wajahku setelah ini?!

"Eh, ergghh, ti-tidak. Aku tidak memperhatikan wajahmu." jawabku cepat. Jantungku berdegup kencang.

"Lalu, kenapa bola matamu mengarah kepadaku?"

"Aaaa.. ma-maaf, ya.. iya! Aku memperhatikanmu!" aku menutup mataku dan mengarahkan wajahku ke samping agar tidak terlihat olehnya. Astaga, Hannah, kau baru saja ketahuan memperhatikan seorang pria aneh. "Aku minta maaf karena telah memperhatikanmu."

"Kenapa meminta maaf? Apa salahnya kau memperhatikanku? Kamu kan punya mata. Jadi, itu adalah hakmu untuk melihatku," jawabnya santai.

"Oh oke. Baiklah."

Bersamaan dengan jawabanku, dari kejauhan, aku melihat sebuah mobil angkutan umum menuju ke arahku. Aku bangkit dari kursi halte, lalu berdiri sambil melambaikan tanganku ke mobil tersebut. Beberapa detik kemudian, mobil berhenti di depan halte, aku segera masuk, dan meninggalkan pria aneh tersebut. Semoga saja aku tidak bertemu dengannya lagi.

*****

Siang ini, aku duduk di halte yang sama saat aku bertemu pria aneh yang berjerawat 4 hari yang lalu. Kali ini bukan menunggu angkutan umum lagi. Bedanya, siang ini aku menunggu jemputan temanku, Charlotte. Charlotte mengajakku ke sebuah pusat perbelanjaan baru di kota dan menyuruhku menunggunya di halte ini. Charlotte tidak mau menjemput langsung ke rumahku, katanya kalau harus ke rumahku, agak jauh dan harus berputar lagi untuk ke pusat perbelanjaan tersebut. Dia sudah terlambat sekitar 5 menit dari jam yang sudah ditentukan.

"Hei, kau lagi. Apa kabar?"

Badanku yang awalnya condong ke depan langsung tegap ketika mendengar sebuah suara yang familiar. Aku menoleh ke kanan, dan yang benar saja, aku bertemu dengan pria aneh itu lagi. Astaga. Ada apa dengan dia?

Aku tidak menjawab apapun. Entah itu gerakan badan atau kata-kata. Aku hanya mengeluarkan napas melalui mulut, lalu, meletakkan telapak tangan kananku di bawah dagu. Kenapa dia ada disini lagi? Apa Charlotte masih lama menjemputku?

"Kau terlihat cantik hari ini," dia mengatakan sesuatu yang membuat jantungku mencelus. "Mau kemana?"

"Terima kasih." jawabku singkat. Sebenarnya aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. Namun, jika tidak menjawab, itu terkesan sombong. "Bukan urusanmu tentang kemana aku pergi."

"Oh, baiklah. Maaf." jawabnya. Aku hanya diam. Mencoba lebih bersabar. Waktu terasa sangat berjalan begitu lambat ketika pria ini muncul entah darimana.

"Siapa yang kau tunggu? Apa kau menunggu angkutan umum lagi?" tanyanya setelah diam beberapa menit. Ya Tuhan. Sebesar apa sih rasa ingin tahu pria ini? Apa urusannya denganku, mau kemana aku pergi dan bersama siapa, bukan urusannya. Dan juga, aku tidak tahan melihat wajahnya yang terlihat seperti selai kacang merah dan coklat dicampur menjadi satu.

"Temanku,"jawabku tanpa memandang ke arahnya. Sebenarnya bukannya aku sombong. Namun, bagaimana ya? Aku tidak suka saja ditanya-tanya seperti artis tersangka kasus korupsi. "Lagipula itu bukan urusanmu. Kau baru mengetahuiku 4 hari yang lalu. Untuk apa kau tahu urusanku."

"Tidak apa-apa. Maaf jika aku terlalu banyak bertanya." balasnya. "Namamu Hannah, kan?"

Kali ini aku menoleh ke arahnya. Secara refleks. "Darimana kau tahu?!"

Aku membaca dari seragam sekolahmu 4 hari yang lalu. "Hannah Riana, tepatnya."

Aku mengangguk pelan. Moodku kali ini benar-benar hancur. Apalagi dia sudah mengeStahui nama lengkapku. Dia benar-benar terlihat seperti penguntit.

"Oh ya, kamu juga kelas 3 di SMA Bunga Nasional, kan?" tanyanya lagi.

"Apa???!!" Nada suaraku kali ini mengeras dari yang tadi. Jika aku bisa bela diri, aku langsung saja menghajar orang ini, lalu lari entah kemana, asalkan pergi saja darisini.

"Ya tentu saja aku tahu. Aku membaca dari lambing sekolah yang ada di lengan baju seragammu," dia tersenyum kecil. Wajah orang ini tidak ada manis-manisnya. Walaupun dia sudah tersenyum. Tetap saja tidak enak dipandang. Belum sempat aku menjawab, datang mobil berwarna biru muda di depan halte. Mobil tersebut berhenti, lalu kacanya turun ke bawah. Charlotte.

Oh baguslah! Aku begitu bahagia. Aku langsung bangkit dari kursi, meninggalkan pria yang bodoh, aneh, jelek, dan kepo ini, tanpa berucap sepatah katapun. Aku membuka pintu mobil peumpang yang berada disamping pengemudi. Aku menutup pintu mobil dengan menghempasnya.

Setelah mobil jalan, aku langsung mengeluarkan kekesalanku kepada gadis bermata coklat terang yang bernama Charlotte ini. Charlotte mendengarkan mulai awal sampai akhir, lalu meminta maaf kepadaku. Katanya, ia harus memilih baju dan sepatu yang cocok untuk dikenakan.

                                *********

Sudah seminggu aku tidak berada di halte, yang aku anggap sebagai halte pembawa sial. Dan kali ini, aku harus berada di halte itu lagi, karena hari ini, seperti biasanya aku menaiki angkutan umum lagi. Selama seminggu, aku dijemput oleh Ayah atau Ibuku, atau terkadang juga aku minta jemput Kakak sepupuku. Sebenarnya, aku tidak membenci haltenya. Aku membenci salah satu orang yang mengunjungi halte nya.

Aku mengambil novelku karya Paulo Coelho dari dalam tas, lalu membacanya. Baru saja aku membaca sekitar 3 halaman, aku mendengar langkah sepatu. Akupun langsung menengok ke kanan. Ya. Tepat sekali dugaanku. Siapa lagi kalau bukan pria aneh berjerawat? Namun, kali ini yang membuatku tercengang adalah, penampilannya berbeda dari dia yang aku temui seminggu lalu. Dia mengenakan baju yang lebih bagus dan sepatu yang lebih bersih.

"Kamu memandangku dari bawah sampai atas?" dia langsung memuyarkan lamunanku. Aku mengerjapkan mata, menggelengkan kepala. Pria yang belum kuketahui namanya itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana nya.

"Memangnya kenapa? Kau juga kemarin bertanya yang aneh-aneh padaku."

"Tidak apa-apa. Terima kasih karena kamu telah memperhatikanku seperti itu. Jarang loh," dia tertawa kecil. "Hari ini kau pulang bersama siapa?"

"Ayahku."

"Oh ya, apa kamu ingin mengetahui namaku?"

Dia menawarkan itu padaku. Aku agak merasa jijik karena dia begitu kepedean.Hei, Hannah, tidak ada salahnya juga kan kau mengetahui nama seorang penguntit?

Aku mengangguk, tapi tidak memandang wajahnya. Aku memandang novel yang sedang kupegang. "Namaku Edgar." dengan cepat dia menjawab.

Nama yang dimilikinya tidak sebagus wajahnya. Ya, bisa dibilang begitu.

"Kau kemarin mendapatkan nilai C kan saat ulangan geografi?" tanyanya pelan.

Aku sontak berdiri. Jantungku serasa ingin keluar. Darimana ia mengetahui itu semua? Dia sampai mengetahui nilai geografiku? Ataukah dia keluarga dari guru Geografi ku?

"Hei penguntit!! Darimana kau mengetahui itu semua?" Aku menunjuknya. "Apa yang kau inginkan dariku? Kau tidak seharusnya ikut campur dalam urusanku sampai nilai-nilaiku! Kau tidak bisa seenaknya mengetahui segala pribadiku, bodoh!" Aku berteriak di halte itu. Beberapa murid-murid dari SMA ku melihat kearahku dengan wajah sinis.

"A-aaku minta maaf," hanya kata itu yang keluar dari mulut Edgar.

"Sebaiknya kau urus wajahmu yang seperti selai kacang itu dulu, sebelum mengurus urusanku, bajingan!"

Aku mengaitkan sembarang tasku ke lengan, lalu pergi menjauh dengan cepat. Aku menelepon ayahku, untuk memberitahunya bahwa jangan menjemput aku di halte.

Astaga. Rasanya aku hendak menangis. Atau apapun. Aku tidak bisa marah. Jika aku marah, maka aku akan menangis. Aku berjalan tercompang -camping sambil menahan air mata yang hendak keluar.

******


Aku membawa semua surat-surat dan berkas-berkas yang telah aku isi dengan lengkap, dan aku kumpulkan ke dalam tasku. Aku sudah melalui 4 tahun, saat terakhir aku bertemu dengan Edgar. Edgar. Ya aku sangat ingat namanya. Tidak mungkin jika aku melupakannya. Kejadian 4 tahun yang lalu yang benar-benar tidak masuk akal.


Aku berjalan melewati trotoar, menyeberang melalui jembatan penyeberangan, dan berjalan terus hingga badanku memasuki halaman sebuah gedung perkantoran yang begitu terkenal di kota. Sekarang aku mengirim banyak lamaran pekerjaan. Aku sudah mengirim ke 2 kantor. Dan ini adalah kantor terakhir yang aku harap aku dapat bekerja disini. Kantor ini termasuk kantor ternama. Jadi, begitu bahagia nya aku jika diterima disini.

Aku merapikan pakaian dan rambutku yang sedikit acak-acakan, lalu disambut oleh seorang satpam gagah yang berdiri di belakang pintu kaca. Dia membukakanku pintu. Dia tersenyum menyambutku. Aku membalas senyumannya. Seperti biasa, aku segera berjalan menuju meja resepsionis. Resepsionis yang menyambutku, dia cantik. Bulu matanya panjang, bibir nya yang unik, serta mempunyai lesung pipit. Namun, aku tidak akan memperpanjang penampilannya, aku langsung menyatakan nama, lalu bertanya keberadaan asisten direktur kantor ini. Aku berkata bahwa aku ingin melamar pekerjaan.

"Oh, baiklah. Tunggu sebentar, Mba Hannah." Resepsionis tersebut tersenyum, lalu mengambil telepon di atas mejanya. Aku mengangguk.

Pandanganku tak bisa terlepas dari kemegahan kantor ini. Serta disini suhunya sangat dingin karena pendingin udara ada dimana-mana.

"Mba Hannah," resepsionis itu kembali bicara padaku. "Anda bisa menemui asisten direktur kami di lantai 8 atas nama Pak Edgar."

Jantungku tiba-tiba terasa berhenti. Otakku tiba tiba secara refleks mengingat masa lalu yang kelam. Mengapa asisten direktur kantor ini harus memiliki nama yang sama dengan penguntit sialan 4 tahun yang lalu? Tapi, tidak mungkin, kan? Ya tidak mungkin lah. Aneh-aneh saja aku ini. Mengapa bisa aku berpikiran yang tidak-tidak?

"Hmm, Mba Hannah? Halo? Bisa dipahami?" Resepsionis berbadan kecil itu membuyarkan lamunanku. Ia memandangku. "Apa satpam kami perlu mengantar anda dan menunjukkan tempatnya?"

"Oh, hm, maaf.. maaf..." aku menggelengkan kepala. Segera menghilangkan hal tersebut dari pikiranku. "Tidak, Mba. Tidak usah. Saya bisa sendiri,"

Resepsionis itu mengangguk.

Aku mengangguk balik juga, merasa canggung. "Terima kasih, Mba. Selamat siang."

"Terima kasih kembali. Selamat siang," ia menjawab dengan tersenyum.

Akupun melangkahkan kakiku menuju lift, bersama orang orang kantor lainnya. Ada beberapa orang yang satu lift denganku. Mereka bertanya lantai berapa tujuanku, lalu aku  jawab 8. Butuh waktu sekitar 2 menit, untuk sampai ke lantai 8. Aku keluar dari lift. Entah kenapa, rasa gugup dan rasa takut yang aneh menjalar ke seluruh tubuhku. Gugup pasti, tapi kali ini, gugupnya begitu berbeda.

Aku berjalan menuju ruangan asisten direktur yang telah disebutkan tadi. Ya. Di depan pintunya, bertulisan Edgar Chandra Purnama, dengan huruf yang berwarna keemasan. Nama yang bagus. Unik. Namun, bukan untuk Edgar 4 tahun yang lalu. Jari telunjuk tangan kananku mengetok pintu 3 kali, mengucapkan kata permisi, dan menunggu beberapa saat.

"Masuk," suara itu terdengar beberapa detik kemudian. Aku menarik napas, lalu menghembuskannya. Akupun memegang gagang pintu, lalu mendorongnya ke dalam. Aku masuk. Dan aku melihat seseorang yang sedang mengerjakan sesuatu di balik laptop hitamnya. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup laptop besarnya itu.

Aku melangkah mendekati meja Edgar. Mengucapkan beberapa patah kata. "Permisi, Mas Edgar, saya ingin melamar pekerjaan disini. Dan saya sudah membawa berkas-berkas yang diperlukan."

Orang itu menaikkan kepalanya.

"Hannah??!"

"Edgar???!!"

Aku terkejut. Aku terkejut setengah mati. Aku terkejut bukan main. Aku benar-benar terkejut. Rasanya aku hendak pingsan. Jantungku ingin keluar. Mulutku menganga. Benar, kan. Firasatku sudah tidak enak saat di meja resepsionis tadi. Ya Tuhan. Rasanya aku hendak keluar dari ruangan ini sekarang juga. Tak mampu menahan diri.

Hendak menangis, ada juga. Orang itu yang berjerawat dan penuh freckles di wajahnya. Namun, sekarang, jerawat itu sudah tidak ada lagi. Entah kemana hilangnya. Dia Edgar. Ya. Edgar siapa lagi? Edgar sialan yang selalu bertemu di halte 4 tahun yang lalu.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Wisthle (creepypasta)

The Secret Behind The Door

The Girl With a Red Ribbon in Her Hair