The Journey and The Nightmare
"Selamat tinggal, Mom." kataku setelah mencium singkat kedua pipinya. Aku membuka pintu mobil bagian penumpang, duduk, lalu menutupnya kembali. Kubuka kacanya sedikit agar aku bisa melambaikan salam perpisahan dengan Mom. "Aku yakin aku baik-baik saja."
"Jaga dirimu, Rein. Hati-hati!!" jawabnya melambaikan tangan. Mobil hitam yang dikendarai oleh ayah ini, sudah perlahan berjalan.
"Bye, Reinny!! Sampai jumpa!!" teriak kembaranku, Rainny. Aku dan Rain hanya berbeda 2 menit, aku yang terlebih dahulu. Jadi, aku seorang kakak. Kami berdua serupa tapi tak sama. Aku menyukai perjalanan dan hal-hal yang berbau liburan ke daerah jauh. Sedangkan Rainny, menyukai kunjungan ke pusat perbelanjaan dan hal-hal yang berbau shopping. Kami sama-sama berkacamata bulat, bermata hazel, berambut pajang, dan memiliki lesung pipit. Yang membedakan kami hanya rambut Rainny yang pirang, sedangkan aku berwarna coklat muda.
Aku mengeluarkan kepalaku sedikit dari kaca agar masih bisa melambaikan tangan kepada mereka yang sepertinya kurang rela menerima kepergianku. Aku terus melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Hingga pada akhirnya, mobil ayah berbelok, dan mereka semua hilang dari pandanganku.
Aku sangat suka darmawisata. Aku suka dengan darmawisata, aku suka dengan orang yang menyukai darmawisata, aku suka dengan orang penggagas ide darmawisata, dan aku sangat suka dengan orang yang menyukai sekaligus darmawisata. Yeah. Hari ini darmawisata yang diadakan oleh kelasku ke daerah Park City, Utah--di wilayah Pegunungan Rocky, bagian barat Amerika Serikat. Darmawisata ke daerah yang bersuhu 21 derajat celcius ini, diadakan selama 10 hari. Aku tak akan menyia-nyiakan 10 hari tersebut.
Walaupun aku sama-sama bertempat di Amerika Serikat, namun aku belum pernah pergi Park City sana. Orang tuaku yang selalu sibuk, aku yang tinggal jauh darisana, dan Rainny yang tak pernah mau diajak kesana. Jika ingin cepat, kita harus menggunakan transportasi udara. Dan jika tidak ingin, kita menggunakan bis dan mencari tempat untuk beristirahat. Aku bertempat di Louisiana, bagian tenggara, Amerika Serikat. Dengan ibukota Baton Rouge. Selama umur hidupku aku sudah bertempat tinggal disini, yaitu tujuh belas tahun.
Aku berharap darmawisataku kali ini benar-benar menyenangkan dan tidak diluar ekspektasi.
*****
Seperti biasa, aku memilih duduk di kursi bis bagian belakang. Dan yang pastinya aku hanya duduk sendiri. Aku tidak ingin berdua dan tidak ada yang ingin berdua denganku. Jangan bilang aku tidak mempunyai teman. Aku mempunyai satu orang teman. Hanya satu orang. Namanya Jeanie April. Seandainya dia ikut, aku akan duduk dengannya. Dia tidak ikut karena harus menjaga adiknya yang sakit. Seandainya aku atau anggota keluargaku seorang dokter, aku pasti akan mengobati adiknya terlebih dahulu. Namun itu kan hanya 'seandainya'?
Aku lebih banyak memiliki internet friend daripada real friend. Dan juga jangan sangka Rainny yang menyukai hal-hal yang berbau shopping itumemiliki teman. Rain tidak memiliki satupun teman di sekolahnya. Bahkan internet friend pun tidak punya. Kedua orang tua kami sangat heran dengan keadaan kami yang tidak memiliki banyak teman. Mereka sudah sering menasehati kami dan mencarikan orang-orang baru untuk kami.
Bis sudah berjalan selama empat puluh menit. Selama 30 menitnya, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Mendengar lagu menggunakan headset dan memandang keluar jendela. Lagu yang kudengarkan adalah lagu legendaris dari band Inggris bernama Coldplay, yaitu Viva La Vida. Aku adalah salah satu dari jutaan penggemar Coldplay di dunia. Huh siapa sih yang tidak menyukai hasil karya mereka?
Aku menikmati pemandangan bukit dan gunung-gunung hijau yang menjulang tinggi, dan yang pasti tidak ada sebuahpun rumah. Sedangkan teman-temanku yang lain, mereka sibuk dengan urusan mereka juga. Ada yang bernyanyi, bermain teka-teki, tertawa-tawa sampai berjoget ria. Dan jangan lupa sudah ada yang tertidur pulas.
Murid yang paling ribut sekarang adalah laki-laki berambut hitam pendek, rahang yang indah, bibir tipis, dan memiliki mata berwarna coklat tua, bernama Tom Halter. Tom adalah mantan kekasihku. Kami menjalin hubungan hanya 2 bulan saja. Tiga minggu yang lalu, Tom mengakhiri hubungan kami. Aku juga masih bingung kenapa aku menerima untuk menjaling hubungan sebagai sepasang kekasih dengannya.
Setelah dua hari ia putus dariku, Tom ikut semacam geng pembullyan. Karena ia ikut geng tersebut, otomatis ia menjadi murid yang dikenal. Mungkin alasan lain ia berubah seperti itu karena ia anak yang brokenhome.
"Eh!" Tom berteriak tiba-tiba. Aku masih bisa mendengar walaupun memakai headset. "Jadi si curut sialan yang bernama Rein Roderson ini juga ikut darmawisata kita?! Kenapa aku baru tau?"
Perlahan aku melepas kedua tali headsetku, saat mendengar namaku dan kata 'curut sialan'. Ya. Aku dibully oleh Geng Tom dengan curut sialan. Aku hanya memutar bola mataku tanpa mengubrisnya. Aku sudah memang terbiasa seperti itu.
"Pak! Pak Supir!! Bisa berhenti sebentar, tidak?" sambung Tom. Dan anehnya si supir menuruti perintah Tom. Aku terkejut saat bis benar-benar berhenti. Semua murid terkejut. "Oke, teman-teman, aku tidak mau darmawisata kita diikuti oleh curut sialan Rein ini. Aku tidak mau si Rein ini menganggu liburanku disana!"
"Jadi...?" tanya John, teman Tom yang juga membullyku. Selain John, juga ada Nick, Liam, Jonas, dan lain-lain.
"Jadi, kita keluarkan Reinny dari bis ini sekarang juga!" teriak Tom. "Setuju?!"
"Setuju!!" teriak semua teman-temannya. Mulutku ternganga dan aku langsung berdiri saat mendengar teriakan dari gengnya tersebut.
"Apaan-apaan ini?" teriakku. "Kalian bercanda, kan?"
Tom Halter menggeleng sambil menyeringai. Ia berjalan kearah pintu bis lalu membukanya. John dan Nick menghampiriku. Mereka menarik kedua lenganku. Mereka mendorongku kuat agar keluar dari bis. Aku meminta tolong. Aku berteriak. Aku menjerit meminta pertolongan. Tidak ada yang menolongku. Tidak ada yang mau membuang waktunya untukku. Semua murid takut dengan Geng Tom. Begitu pula Pak Supir.
John dan Nick mendorongku keluar dari bis hingga tubuhku menghantam aspal dengan keras. Aku meringis. Aku mencoba berdiri dan berusaha masuk lagi kedalam bis. Namun apa daya, Tom menahanku dengan kedua tangannya dan ia sudah menyuruh supir bis untuk menjalankan kembali bisnya. Pak supir menampakkan tatapan meminta maaf padaku. Saat ia mengijak gas, Tom mendorongku, dan untuk kedua kalinya aku terjatuh ke aspal.
"Selamat menikmati liburanmu, curut sialan! Ceritakan kepadaku nanti bagaimana rasanya.. Dadah...!!!" katanya.
Tom dan geng bullyannya tertawa keras dan melambaikan tangan kearahku melalui jendela bis.
Aku hanya menatap mereka sengit sambil memegang lenganku yang terkilir karena John dan Nick. Lama-lama bis berjalan jauh dan akhirnya hilang dari pandanganku.
Aku pasrah. Aku sudah merasa air mataku jatuh. Koperku tertinggal didalam bis. Keadaanku sekarang hanya membawa tas selempang yang berisi uang 30 dollar, tissu, charger ponsel, headset, dan ponselku yang baterainya hanya tersisa 28%. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sinyal. Emergency calls only. WTF.
"SIALAN! JAHAT! GILA! BAJINGAN! BODOH! KEPARAT! BANGSAT! KEJAM! HANTU! SETAN! TOM HALTERR!!!" teriakku sambil terisak-isak.
Suaraku menggema. Tidak ada satupun manusia yang berkeliaran disini. Seandainya bisa, aku akan membawa semua orang di geng Tom ke gereja untuk diserahkan kepada pendeta. Seperti yang ada di film-film hantu agar roh-roh jahat ditubuh mereka keluar.
Satu kalimat yang ada dipikiranku. Apa yang kulakukan sekarang?
******
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Sebuah silauan cahaya memaksaku untuk membuka mata lebih lebar. Mataku memandang keatas. Atap sebuah van. Aku mencoba bangkit dan aku mendapati beberapa goyangan. Aku terbaring kembali. Benar saja. Aku didalam mobil van. Seseorang menemukanku rupanya. Perlahan, telingaku mendengat sebuah alunan musik.
"Hei.. kau sudah bangun?" suara berat muncul tiba-tiba. Setelah kusadari ia yang sedang mengemudi van ini. "Beri dia susu kotak, Maura."
Anak kecil disebelahnya--yang duduk dikursi penumpang, mengangguk. Ia menunduk kebawah, mencari sesuatu, dan mendapatkan susu kotak. Ia melemparnya padaku. Dengan sigap aku menerimanya. "Terima kasih."
Si gadis kecil bermata biru dan rambut pirang yang dikuncir itu mengangguk dan tersenyum. Aku belum bisa melihat Stephen dengan jelas. Tapi, kurasa setelah kulihat dari kaca spion yang tergantung diatas, dia tampan. Dia benar-benar tampan. Matanya hijau, rahang yang tajam, alis yang tebal, dan rambut hitamnya yang lebat mencuat kesegala arah.
"Ngg, ak-aku ingin bertanya," kataku mencoba untuk bangkit. "Kalian berdua si--"
"Aku Stephen, kau bisa memanggilku Steph. Dan ini adikku, Maura." jawab laki-laki itu. Oh dia peramal rupanya.
"Kalian yang menolongku?" tanyaku lagi. "Oh, dan kalian orang ma--"
"Ya. Kami yang menolongmu. Kami menemukanmu tergelatak disisi jalan tak berdaya. Kami sudah memaksa kau untuk bangun. Tapi, tetap tidak bangun juga," kata orang yang bernama Stephen itu. Lagi, lagi, ia bisa menebak pertanyaanku. "Kami orang Louisiana daerah Gravier Street, dan sebutkan asalmu, maka kami bersedia mengantarmu. Atau setidaknya kau bercerita dulu tentang asal-usulmu kenapa sampai bisa tersesat seperti ini."
Aku membuka tutup dari susu kotak lalu meneguknya. Sekali teguk ini aku sudah menghabiskannya separuh. "Aku orang Louisiana juga. Rumahku di Frenchmen Street. Aku melakukan darmawisata ke Park City selama 10 hari bersama murid di kelasku. Tapi, geng mantan pacarku sendiri, membullyku habis-habisan, tidak ingin aku ikut darmawisata, dan mereka melemparku dari bis ke aspal. Tidak ada yang menolongku. Mereka semua takut dengang geng Tom."
"Waw."
"Kenapa waw?" tanyaku mengernyit bingung.
"Ya.. waw saja. Aneh. Orang sepertimu kena bullyan juga rupanya." Ia menggeleng lalu melirikku dari kaca jendela.
"Memangnya kenapa? Aku pantas dibully, Stephen. Dan aku sudah terbiasa tentang itu." jawabku bersandar di kursi van.
"Uhm, maaf." katanya. "Kurasa tidak adil, kan jika kau sudah mengetahui nama kami berdua, namun kami berdua, belum mengetahui namamu."
"Baiklah. Namaku, Reinny. Kau bisa memanggilku Rein." kataku.
"Rein. Yeah.. nama yang keren."
"Oh ngomong-ngomong kau darimana?" tanyaku lagi. "Dan hendak pulang ke Louisiana, kan?"
" Park City juga. Kami hendak pulang ke Louisiana. " jawabnya. "Tapi kami kesana bukan sekadar darmawisata. Sekolahku mengadakan sebuah lomba fotografi untuk seniornya. Jadi, karena aku memang menyukai hobi fotografi, kesempatan ini tidak akan aku lewatkan. Aku rela jauh-jauh dari Louisiana ke Utah demi mendapatkan hasil foto yang bagus. Siapa tau jika aku menang, aku bisa mendapatkan beasiswa fotografi, kan?"
"Oh, kalau tentang Maura kenapa bisa ikut juga,karena ia memaksaku habi-habisan."
"Ngg, yaa.. siapa tau. Ngomong-ngomong kau bersekolah dimana?" tanyaku lagi.
"Alexandria Senior High School."
Aku tersedak. Terkesiap. Cairan putih sedikit tumpah ke baju kaos yang kukenakan. Alexandria Senior High School adalah sekolahku juga. "Wh-what?! Kau seniorku?! Kenapa aku tidak pernah melihatmu?"
"K-kau juniorku? Kenapa aku tidak pernah melihatmu?" katanya kemudian terkekeh. Ia melirik Maura yang juga ikutan terkekeh.
Aku memutar mata saat mendengar ia mengikuti perkataanku walaupun diubahnya. "Aku serius. Kenapa aku sama sekali tidak pernah melihatmu?"
"Aku sangat sering keluar dari kelas," jawab Stephen. "Mungkin saja kau yang jarang keluar kelas dan berjalan-jalan."
Aku menggaruk tengkukku saat merasa perkataan Steph adalah benar. Ya. Aku sangat jarang berkeliling sekolah. Kecuali pelajaran olahraga. Terkadang jika istirahat aku tidak pergi ke kantin. Inilah yang membuatku jarang bertemu orang-orang.
"Oh ya, kita sudah dimana, sudah berjalan berapa kilometer, dan kira-kira berapa jam lagi untuk sampai?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
"Entah aku tidak tahu sudah sampai mana. Kurasa kita sudah berjalan sepanjang 6 km. Jika ditempuh menggunakan kendaraan roda empat, waktu dari Utah ke Louisiana adalah 23 jam 44 menit," katanya yang kubalas dengan anggukan. "Tapi karena kau tadi terjatuh belum terlalu jauh dari Louisiana--mungkin baru didaerah Oklahoma, jadi perjalanan kita hanya sekitar 12 jam lebih."
"Oke." kataku mengangguk lagi. "Hmm, apa adikmu Maura ini saja?"
"Tidak. Aku mempunyai adik tiri laki-laki yang seumuran denganmu. Namanya Alex." jawab Steph. "Oh ngomong-ngomong tentang yang membullymu tadi, kau bisa menunjukkan orangnya padaku. Siapa tahu aku mengenalnya dan bisa saja, kan, aku mengerjainya balik. Ia juniorku juga, kan?" Stephen terkekeh.
"Ngg, i-iya. Hehe. Kapan-kapan."
Mampus kau Tom Halter bajingan keparat!
*****
Kami bertiga--aku, Maura, dan Stephen--tiba di rumahku setelah melewati 13 jam yang melelahkan. Seandainya tidak ada hambatan kecil tadi, kami mungkin sudah sampai sekitar 12 jam seperti perkiraan Stephen. Aku mengajak mereka berdua untuk makan malam sebentar di rumahku, sebagai balasan karena mereka rela meluangkan waktunya untuk mengantarku ke rumah. Mungkin karena mereka juga lapar, mereka menerima ajakkanku.
Mom dan Rainny sudah menyiapkan makan malam spesial hanya untuk menyambut Stephen dan Maura. Sebenarnya, Mom sangat jarang memasak. Kami lebih sering membelindan makan diluar. Namun, demi laki-laki dengan panggilan Steph, mereka rela memasak makan malam. Aku juga sudah bercerita semua kejadian yang kualami kepada Dad, Mom, dan Rainny saat di van, dengan menelpon mereka. Dad berjanji setelah ia pulang kerja dari Texas, ia akan mengurus koperku dan melaporkan kepada kepala sekolah.
Jarum pendek menunjuk angka 10 dan jarum panjang menunjuk angka 11. Steph dan Maura pamit untuk pulang ke rumah mereka. Syukurlah rumah kami sama-sama di Louisiana, jadi tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama.
"Hmm, Rein, jaketku yang kau pinjam itu nanti akan kuambil lagi kesini 12 hari setelah ini," kata Steph didepan pagar rumahku. Ya. Aku memang meminjam jaket Steph dan tidak sengaja ketumpahan jus yang mengharuskanku untuk mencucinya. "Kau tidak usah mengantarnya ke rumahku."
"Kau serius?! Dan 12 hari lagi? Tidak terlalu lama?"
"Uh tak apa." Lagi-lagi, ia tersenyum. Lalu masuk kedalam kursi penumpang. "Sepertinya Maura sudah tertidur dan aku harus segera pulang. Terima kasih atas makan malamnya, Rein."
"Aku juga sangat-sangat berterima kasih atas pertolonganmu, Steph. Sampai jumpa.." aku melambaikan tangan padanya. Setelah ia juga melambaikan tangan padaku, Steph mulai memutar setirnya, hingga akhirnya mobil Steph sudah hilang dari pandanganku. Entah kenapa, aku merasakan rasa kesedihan saat mataku tidak bisa menangkap lagi laki-laki bernama Stephen.
**
Perlahan, aku membuka pintu kamar dan langsung mendapati Rainny yang hanya berdiri sekitar 10 cm dihadapanku. "Rain!!" teriakku lalu mendorongnya.
Rain terkekeh. Aku menghela napas lalu memanjat tangga untuk naik ke kasurku.
"Kau menyukai Stephen, kan?" tanyanya tiba-tiba.
"Apa?!"
Rain menggeleng. "Kau tidak mungkin tidak mendengarku, Rein."
"Uh. Ti-tidak. Aku tidak menyukainya. Kami baru mengenal. Tidak mungkin secepat itu, kan?" kataku berbohong.
"Kau berbohong, Rein!" Rain menghampiriku lalu memegang tanganku dengan keras. "Cinta bisa datang pada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tidak mengenal itu lambat atau cepat. Kau sudah tertarik dengan Stephen."
Aku memutar mataku. "Huh. Entahlah. Aku tidak tahu!"
Ia melepas tangannnya dariku."Kau tidak bisa berbohong denganku, karena kita kembar identik, Rein. Rambut kita sama. Rambutmu berbeda karena kau mengecatnya."
Aku tak menjawab dan langsung berbaring ke kasurku. Lalu menyalakan lampu tidur.
"Kau tahu," sambung Rain. Kurasa ia juga sudah berbaring di kasurnya. "Saat malam kau pergi, aku bermimpi buruk bahwa kau dibully dan di keluarkan dari bis wisatamu. Persis seperti yang kau ceritakan. Dan ternyata itu benar. Aku juga bisa merasakan bahwa kau menangis malam itu."
Rain benar. Kami tidak bisa berbohong satu sama lain. Entah kenapa aku sangat cepat dalam menyukai seseorang. Aku dan ia baru kenal sehari. Steph tidak mungkin menyukaiku. Apalagi ia yang sebagai senior. Aku berpikir, apa aku harus menghilangkan rasa ini dengan cepat?
'Oh ngomong-ngomong tentang yang membullymu tadi, kau bisa menunjukkan orangnya padaku. Siapa tahu aku mengenalnya dan bisa saja, kan, aku mengerjainya balik. Ia juniorku juga, kan?' entah kenapa kata-kata itu terus terbayang dikepalaku.
"Kau harus menghilangkan rasa itu, Rein." tiba-tiba Rain bersuara. "Karena jika kau menyukai Steph sebagai senior di sekolah, kau semakin dibully dan menambah masalah. Harga dirimu merendah."
Rain benar.
Tapi, bagaimana jika aku tidak bisa? Apa harus dipaksakan? Lantas, bagaimana caranya?
*********
Sejak lima menit yang lalu, aku terus berjalan bolak balik memperhatikan kalender hari ini. Karena hari ini adalah hari ke 13 sejak Stephen pergi. Dia berjanji akan kembali kesini 12 hari kemudian, untuk mengambil jaketnya yang kupinjam. Dan perkataanya tidak terbukti. Walaupun baru lewat satu hari. Apa aku harus ke rumahnya? Bagaimana jika Stephen lupa bahwa jaketnya berada ditanganku? Bagaimana jika dia tidak mengambilnya sama sekali?
Ah daripada bolak-balik tidak karuan menghadapi kalender, lebih baik aku ke rumahnya saja. Lumayan jika aku bertemu dengan laki-laki bermata hijau itu, aku dapat mengobati rinduku. Ia juga sudah memberitahuku alamat rumahnya saat makan malam kemarin. Maka dari itu, tanpa basa basi lagi, tanganku langsung mengambil jaketnya yang berada dalam lemari, lalu turun ke bawah untuk berpamitan pada Rain.
"Uhm, Rain, aku pergi ke rumah Stephen dulu ya di Gravier Street. Mengembalikan jaketnya."
"Bukannya Steph sudah berjanji bahwa ia sendiri yang akan mengambil jaketnya?" tanya Rain yang sedang bersantai di sofa. "Kenapa kau mau mengantarnya jauh-jauh?"
"Huh. Tak apa lah. Kalau ia lupa bagaimana?" tanyaku. "Lagipula aku ingin mengenal Steph lebih dekat."
Rain memutar mata. "Ya sudah. Hati-hati, Rein." katanya saat aku sudah berlari ke garasi untuk mengambil sepedaku. Aku meletakkan jaketnya di dalam keranjang depan, lalu mulai mengayuh sepeda.
****
Kayuhan sepeda kuhentikan saat aku sudah berhenti didepan sebuah rumah bergaya minimalis warna biru tua, pagar kayu biasa namun tinggi, dan halaman yang tidak terlalu luas. Setelah kurasa ini memang benar rumahnya Stephen, aku membaringkan sepedaku diluar pagar, lalu berjalan menuju pintu. Rumah yang sepi. Tidak ada tanda-tanda ada seseorang didalam.
Dengan tangan sebelah kanan mengetuk pintu dan sebelah kiri memegang jaket. Aku terus mengetuk tanpa jeda sampai bunyi bahwa pintu sudah terbuka, terdengar. Perlahan pintu terbuka, dan ternyata Stephen-lah yang membukanya.
Mata stephen langsung terfokus pada jaket miliknya yang sedang kupegang. Maka dari itu, aku langsung menyerahkan padanya. "Oh astaga! Aku lupa mengambil jaketku! Terima kasih, Rein." katanya. "Tapi, kurasa kau tidak usah repot untuk datang kesini mengembalikan barang ini. Hubungi saja aku."
Aku memutar bola mata. "Aku tidak mempunyai kontakmu, Steph."
"Astaga," katanya lalu terkekeh. "Huh. Baiklah. Silahkan masuk dulu, Rein."
Aku mengangguk, melepaskan sepatu, lalu melangkah masuk kedalam. Steph menyuruhku duduk di kursi tamunya sedangkan ia mengambil minuman. Sembari menunggu, aku memandang rumahnya ini.
"STEPHENN!!!" tiba-tiba teriakan seorang laki-laki. "Kau tau tidak, diman... REINNY RODERSON?! WHAT?! Kenapa kau disini? Kenapa curut sialan disini? Steph, apa-apaan ini?!"
Sontak aku langsung memalingkan wajah ketika mendengar namaku. Dan saat itu juga rahangku terbuka lebar. "TOM?!! KENAPA KAU JUGA ADA DISINI?"
Astaga. Apa-apaan ini?! Itu Tom. Kuulangi, Tom Halter. Tunggu, ini bukan mimpi, kan? Aku mengucek-ngucek mataku, tak percaya.
"Hei, kalian sudah saling kenal?!" Steph angkat bicara.
Aku langsung mengernyit pada Stephen. "Steph!! Ini Tom mantan pacatku yang membullyku itu! Yang kukatakan padamu 13 hari yang lalu saat di van!"
"Hah?! Serius? Kalian bercanda, kan?" tanya Steph tidak percaya. "Tom ini adik tiriku, Rein. Ayah kandungku menikah dengan ibu kandungnya, sepuluh hari yang lalu. Dan ia tinggal disini."
Tenggorokkanku tercekat. Rasanya udara yang Tuhan berikan padaku hendak habis. "Ta-tapi, katamu bukannya nama adik tirimu adalah Alex?"
"Tom Alexander Halter," jawabnya. "Aku memanggilnya Alex."
Ya Tuhan. Dunia ini sempit, kawan. Aku tidak bisa berucap apa-apa lagi dan langsung bangkit dari kursi meninggalkan mereka. Tanpa berpamitan, aku pergi dari rumahnya. Aku ingin menangis dipelukkan Rain sekarang juga. Hanya kembaranku itulah yang dapat mengerti semua tentangku.
Hanya satu pertanyaanku, dimana aku meletakkan wajahku saat aku kembali turun ke sekolah?
Komentar
Posting Komentar